Friday, August 16, 2013
Negara Saudi Arabia : Pemimpin Dunia Islam Atau Antek Amerika?
Oleh: Muhamad
Karyono | 04 August 2013 | 06:23 WIB
Rasa-rasanya tak
ada negara yang lebih menarik untuk dikupas melebihi Saudi Arabia. Sederet
frase mungkin langsung terbayang dalam benak
kita begitu mendengar nama Saudi. Negeri kelahiran Rasulullah SAW, dua kota
suci, Wahabi, minyak, dan sebagainya. Perspektif orang terhadap negara tersebut
pun secara umum terbagi dalam dua kutub ekstrem. Mengagumi sedemikian rupa atau
membenci sejadi-jadinya.
Bagi yang
mengagumi Saudi, negeri yang kini dinakhodai oleh Raja Abdullah tersebut selalu
dilihat dalam kaca mata putih sebagai pelindung utama dakwah tauhid, negeri
yang sukses mendistribusikan kemakmuran terhadap segenap rakyatnya, negeri yang
sukses menegakkan keamanan di segenap penjuru wilayahnya, serta negeri yang
konsisten dengan hukum Islam di tengah moderenitas. Sementara bagi para
pembenci Saudi, negara tersebut selalu dilihat dengan kaca mata hitam sebagai
negeri yang lahir dari satu ‘paham’ yang sering dibilang ‘keras dan intoleran’,
antek Amerika, pengusung diktatorisme, pembela feodalisme, pengekang hak-hak
wanita, serta kehidupan glamour sebagian elitnya.
Namun justru
adanya dua perspektif yang saling bertolak belakang itulah yang menyebabkan
‘pesona’ Saudi kian berbinar. Sejumlah karya kontroversi yang bertemakan Saudi
selalu menggelitik untuk ditelisik. Sebut saja Dinasti Bush Dinasti Saud, The
Girls of Riyadh hingga Kudeta Makkah. Meski sederet buku tersebut cenderung
mendiskreditkan Saudi, namun di sisi lain adanya karya-karya semacam itu justru
menunjukkan pengakuan banyak pihak akan eksistensi Saudi. Bahkan sejak lahirnya
cikal bakal kerajaan Saudi Arabia lewat dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab dan Imam Muhammad Ibnu Su’ud, gemanya pun langsung berasa di berbagai
negeri Muslim. Di tanah air, pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab menjelma dalam gerakan Paderi di tanah Minang.
Biografi
memukau Raja Abdul Aziz Ibnu Saud yang dibesarkan di pengasingan dalam kondisi
penuh keterbatasan sebelum sukses mendirikan kerajaan Arab Saudi moderen, tak
pelak menghadirkan kekaguman pula bagi Bung Karno. Dalam salah satu suratnya
yang ditulis di Endeh dan ditujukan kepada Ustadz A. Hassan, Bung Karno
menyatakan kekagumannya akan biografi Ibnu Saud dengan ungkapan, “Ia adalah
menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan
element amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum
pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama sekali.”
Eksistensi
Saudi di mata internasional semakin diakui kala Raja Faisal memimpin embargo
minyak terhadap negara-negara Barat pendukung zionis yang mengakibatkan dunia
industri di Eropa dan Amerika kalang kabut. Meski kini Saudi menerapkan politik
kooperatif terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, bukan berarti peran Saudi
dipandang sebelah mata. Satu hal menarik ditulis Craig Unger dalam Dinasti Bush
Dinasti Saud. Konon dua hari pasca tragedy 11 September 2001, di saat seluruh
lalu lintas udara Amerika Serikat ditutup, Gedung Putih tetap mengizinkan
kepergian 140 penumpang pesawat yang kebanyakan warga Saudi dan saudara dekat
Osamah bin Laden. Dalam analisis Craig, semua itu tak lepas dari kuatnya lobi
duta Saudi terhadap pemerintah Amerika Serikat.
Mencermati
hubungan Amerika Serikat-Saudi Arabia memang sangat menarik bila dikaitkan
dengan latar belakang kedua negara yang saling bertolak belakang. Amerika
Serikat adalah satu negara sekuler yang begitu mendewakan kebebasan dalam
segala bidang, sementara Saudi merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai ‘puritanisme’ dalam Islam. Amerika merupakan negara pendukung utama
rezim zionis Yahudi, sedangkan Saudi tidak pernah mengakui eksistensi
pemerintahan Yahudi di Palestina.
Politik luar
negeri Saudi yang bagi banyak orang terlihat kontradiktif dengan ideologi
negara yang dianutnya, tak pelak memantik minat banyak pengamat untuk
melontarkan sejumlah teori. Secara umum, teori tersebut menyebutkan bahwa
kedekatan hubungan Saudi-AS semata-mata didasari atas simbiosis mutualisme
antara kedua negara. AS yang merupakan negara konsumen minyak terbesar dunia
membutuhkan limpahan suplai minyak dari Saudi, sementara Saudi membutuhkan
peralatan militer dari AS guna menjaga kedaulatan wilayahnya.
Apapun itu,
identitas Saudi sebagai negara ‘Wahabi’ di satu sisi dan sebagai negara yang
kerap diberikan stigma sekutu Amerika di sisi lain, menyebabkannya dimusuhi
oleh beberapa kelompok yang sejatinya satu sama lain pun saling mengusung
ideologi bertolak belakang. Beberapa kelompok dimaksud antara lain adalah
kalangan liberal, Syi’ah, Al-Qaeda, dan tradisionalis.
Di mata kaum
liberal, Saudi yang konsisten menegakkan hukum Islam di segenap lini merupakan
ancaman nyata bagi proyek mereka yang mengusung kampanye “hukum Islam tak lagi
relevan saat ini.” Tegaknya Islam di Saudi yang berefek pada pemerataan
kemakmuran terhadap segenap rakyatnya merupakan satu bukti bahwa seluruh hukum
yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tetap relevan sampai kapanpun.
Bagi
kalangan Syi’ah, Saudi dianggap sebagai batu sandungan utama dalam menyebarkan
aliran menyimpang tersebut ke segenap penjuru dunia. Bahkan Saudi turut
menggagalkan secara langsung revolusi Syi’ah di Bahrain dengan mengirimkan
pasukan militer untuk melindungi pemerintah Sunni di negeri tersebut. Maka
untuk menggaet simpati kaum Muslimin secara umum, orang-orang Syi’ah
menyebarkan propaganda dengan membuat kebohongan bahwa Republik “Syi’ah” Iran
merupakan negara yang berada di garda terdepan dalam menentang Amerika dan Israel.
Namun faktanya, Iran yang dituding mengembangkan senjata nuklir tidak pernah
sekalipun terlibat peperangan terbuka dengan Amerika maupun Israel.
Sedangkan di
mata kelompok Al-Qaeda dan para pengusung ‘Islam radikal’, Saudi dianggap
sebagai negara kafir lantaran sikap kooperatifnya dengan Amerika. Hal itu
sebagaimana dinyatakan oleh Osama bin Laden yang menegaskan bahwa Saudi tidak
layak disebut negara Islam karena dinilai sebagai antek Amerika. Konsekuensi
dari stigma kafir terhadap pemerintah Saudi oleh Al-Qaeda, berimplikasi pada
meletusnya teror bom Riyadh 2004.
Dan dalam
pandangan kaum tradisionalis yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan budaya
lokal, eksistensi Saudi dianggap sebagai musuh karena merupakan pendukung utama
dakwah pemurnian Islam. Setiap tahunnya pemerintah Saudi memberikan beasiswa
kepada ribuan pelajar dari segala penjuru dunia untuk menimba ilmu di negeri
tersebut. Sepulang dari Saudi, mereka yang lulus dari universitas Islam di
negara itu menjadi penyeru dakwah tauhid yang mementang segala praktek bid’ah
dan kemusyrikan. Saudi juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Islam di
berbagai negeri Muslim, seperti LIPIA di Indonesia dengan misi utama menebarkan
dakwah tauhid. Maka tak heran, kaum tradisionalis yang praktek beragamanya
masih lekat dengan kemusyrikan selalu menempatkan Saudi sebagai negara yang
dimusuhi.
Menariknya,
keempat kelompok di atas kerapkali menggunakan isu kedekatan Saudi dan Amerika
sebagai senjata untuk mendiskreditkan negeri kerajaan tersebut. Satu pemandangan
aneh, kalangan liberal dan tradisionalis merupakan kelompok yang paling alergi
terhadap segala teori konspirasi Yahudi yang dilontarkan oleh kalangan ‘Islam
pergerakan’ (baik Hizbut Tahrir, PKS, maupun Ikhwanul Muslimin). Namun bila
konspirasi Yahudi itu menyangkut ‘hubungan rahasia Israel-Saudi’, mereka berada
di garda terdepan dalam menyebarkan isu tersebut ke tengah umat.
Mencermati
kebijakan luar negeri Saudi, sejatinya tidak melulu soal poros
Riyadh-Washington. Ada banyak kebijakan luar negeri Saudi yang berdampak
positif bagi solidaritas sesama Muslim. Di samping besarnya peran Saudi dalam
bidang pendidikan, lewat kebijakan pemberian beasiswa besar-besaran kepada para
pelajar Muslim untuk melanjutkan studi ke negeri tersebut serta pendirian universitas-universitas
Islam di mancanegara maupun sumbangan dana kepada yayasan yang menaungi dakwah
di berbagai penjuru dunia, Saudi merupakan satu-satunya negara di dunia yang
sudah sejak lama membuka pintu lebar-lebar kepada para pengungsi Rohingya. Bila
kehidupan warga Muslim Rohingya di negara asalnya sangat memprihatinkan akibat
kebijakan represif penguasa Buddhist, serta yang mengungsi ke negara lain pun
nasibnya terkatung-katung, tidak demikian dengan warga Muslim Rohingya di
Saudi. Semenjak Raja Abdul Aziz menawari perlindungan keamanan kepada pengungsi
Rohingya di negaranya tahun 1968, saat ini terdapat ratusan ribu umat Muslim
Rohingya yang tinggal di negeri kelahiran Nabi SAW itu. Bahkan pada Maret lalu,
pemerintah Saudi memberikan status kewarganegaraan kepada 250 ribu Muslim
Rohingya. Itu artinya kini mereka berhak atas fasilitas kesehatan, pendidikan,
dan hak mendapatkan pekerjaan yang setara dengan penduduk lokal. “Dunia baru
menyadari penderitaan Rohingya di Burma kurang dari setahun lalu. Tapi Arab
Saudi adalah negara satu-satunya yang peduli penderitaan mereka sejak lama,”
kata Abdullah Marouf, sekretaris jenderal komunitas Burma dan kepala Global
Rohingya Center di Jeddah, dilansir Arab News (selengkapnya lihat di sini).
Tak hanya
terhadap Muslim Rohingya pemerintah Saudi memberikan uluran tangan. Tatkala
terjadi tsunami Aceh penghujung tahun 2004, pemerintah dan rakyat Saudi juga
menyumbang US$ 30 juta (Rp 4,8 triliun), di mana semua sumbangan itu berbentuk
hibah. Di kesempatan lain, pasca terjadinya serangan udara secara ofensif
pasukan zionis terhadap jalur Gaza selama beberapa pekan di awal tahun 2009,
pemerintah dan rakyat Arab Saudi juga memberikan bantuan senilai 1 miliar
dollar untuk rehabilitasi kota Gaza. Sayangnya, besarnya sumbangan Saudi kepada
dunia Islam memang jarang terekspose media lantaran berita yang semacam itu
dianggap ‘kurang menjual’.
Dengan
demikian, semenjak lahirnya cikal bakal kerajaan Arab Saudi hingga hari ini,
tak ada yang mengingkari bahwa Saudi merupakan negara yang paling berpengaruh
terhadap dunia Islam. Berkembangnya seruan revivalisasi (pemurnian) Islam yang
bergema di berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia belakangan ini, tak lepas
dari peran Saudi Arabia. Meskipun bagi sebagian kalangan ‘Islam pergerakan’,
eksistensi Saudi kerap diabaikan lantaran hubungan diplomatiknya dengan
Amerika, namun sumbangan Saudi dalam bidang sosial dan pendidikan terhadap
dunia Islam tetap tak terbantahkan. Terkait hal ini, satu catatan yang
seharusnya diingat oleh kelompok-kelompok ‘pejuang khilafah’ adalah, tatkala
kondisi umat Islam tengah tercerai-berai bak buih di lautan, maka mendahulukan
konsolidasi antara sesama negeri Muslim jauh lebih utama ketimbang sikap-sikap
konfrotatif terhadap Amerika dan sekutunya!
Sumber : FB Buletin Al-Minhaj
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment