Berkali-kali seruan itu terdengar jelas di telinga, Jumat (30/9), sebelum memasuki kampus Universitas Teheran di Enghelab (revolusi) Ave, Teheran, tempat kami menunaikan ibadah shalat Jumat. Yang disebut sebagai tempat shalat Jumat bukanlah bangunan masjid kampus seperti yang jamak dikenal di Indonesia, melainkan lebih mirip gelanggang olahraga yang terbuka. Luasnya empat kali lapangan futsal dan terletak di antara Fakultas Hukum dan Politik serta Pusat Bahasa Parsi.
Seruan kutukan terhadap Amerika Serikat (AS) dan Israel berkali-kali dikumandangkan sebelum khatib berkhotbah. Seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun berdiri di atas mihrab dengan lantang meneriakkan seruan itu berkali-kali. Mengutuk AS dan Israel saat sebelum atau saat khatib berkhotbah menjadi salah satu kebiasaan shalat Jumat di Iran. Setiap seruan kutukan yang dikumandangkan diikuti dengan semangat oleh jemaah shalat Jumat. Semasa Presiden Irak Saddam Husein masih hidup, selain AS dan Israel, Saddam yang pernah memerintahkan pasukannya menginvasi Iran juga menjadi sasaran kutukan selama shalat Jumat.
Ada yang lain dari suasana shalat Jumat di Iran dibandingkan dengan negara-negara lain yang menganut paham Sunni. Iran yang menjadi pusat Islam Syiah Ja’fari (Syiah 12 imam) memang tak mewajibkan ibadah shalat Jumat. Ibadah ini menjadi wajib setelah ada keberadaan imam suci atau imam maksum. Tanpa keberadaan imam suci, shalat Jumat bagi penganut Syiah menjadi belum wajib. Imam suci yang saat ini ditunggu umat Syiah Ja’fari adalah imam ke-12 atau Imam Mahdi. Namun, tentu saja, shalat dzuhur sebagai bagian dari shalat lima waktu tetap menjadi kewajiban. Selesai shalat Jumat, imam akan langsung memimpin shalat ashar.
Di Iran, shalat Jumat hanya digelar di satu tempat di setiap kota. Seperti di Teheran, shalat Jumat hanya digelar di Universitas Teheran. Warga Teheran yang ingin menunaikan shalat Jumat mesti datang ke sini. Pemerintah menyediakan bus-bus jemputan bagi warga yang tinggalnya cukup jauh dari Universitas Teheran.
Karena dipusatkan di satu tempat, para pemimpin Iran pun melaksanakan shalat Jumat di sini. Kondisi ini membuat pengamanan shalat Jumat menjadi protokol standar pengamanan pejabat tinggi negara. Beruntung, Kompas saat itu menjadi tamu negara bersama Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin dan Hajriyanto Y Thohari yang merupakan delegasi resmi Indonesia dalam Konferensi Internasional Kelima Dukungan terhadap Perjuangan Palestina yang digelar di Teheran, 1-2 Oktober. Kami bertiga ditemani Syahrul, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pascasarjana di bidang mikrobiologi, menjadi bagian kecil umat Islam aliran Sunni yang merasakan atmosfer shalat Jumat di Teheran. Kami bisa masuk ke jajaran saf para pemimpin Iran dan tamu negara, tepat di depan mihrab, tempat khatib berkhotbah.
Sebelum memasuki kawasan Universitas Teheran, setiap jemaah diperiksa, terutama jemaah yang akan berada di saf (barisan shalat) terdepan. Kami tidak diperkenankan membawa barang yang bukan keperluan shalat. Kami harus melewati pendeteksi logam sebelum sampai ke tempat shalat. Pengawal dari Garda Revolusi Islam menggeledah semua barang bawaan jemaah. Telepon seluler ataupun kamera termasuk barang yang tidak diperkenankan dibawa jemaah.
Khatib dan imam shalat Jumat siang itu adalah Ayatollah Ahmad Janati, Ketua Dewan Pengawas Konstitusi (Shura-e Negahban-e Qanun-e Assassi). Janati berkhotbah dalam bahasa Persia. Salah satu isi khotbahnya tentang pandangan Islam terhadap perang. Selain disiarkan langsung lewat televisi pemerintah, warga Iran juga bisa mendengar khotbah shalat Jumat pemimpin mereka lewat radio.
Orang Iran menganggap shalat Jumat sebagai ibadah politik. Tak lupa, Janati pun menyinggung soal skandal korupsi perbankan yang sedang terjadi di Iran saat itu. (KHAERUDIN)
0 comments:
Post a Comment