Terdapat berita-berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam penentuan sifat-sifat golongan yang selamat dan
kelompok yang dimenangkan baik secara manhaj atau kondisinya.
Adapun tentang manhaj atau jalan hidup mereka terdapat tiga lafadz dalam hadits yang menjelaskan bentuk manhaj mereka :
[1]. Ma anaa ‘alaihi alyauma wa ashaabii (siapa saja yang
mengikuti aku dan sahabatku sekarang) [sebagaimana dalam hadits Abdillah
bin 'Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu.]
Jadi manhaj atau jalan hidup Firqotun Najiyah Thoifah Mansurah adalah
bahwasannya mereka selalu menempuh atau meniti jalan hidup Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga menempuh jalan hidup para
shahabat beliau.
[2]. Al-Jama’ah Sebagaimana dalam hadits Anas dan Sa’ad Radhiyallahu ‘anhuma
Artinya adalah bahwasannya Firqotun Najiyah Thoifah Mansurah adalah
sekumpulan orang yang selalu menata hidup mereka bersama jama’ah Nabi
Muhammad shallaallahu ‘alaihi wa salaam dalam artian mereka tetap akan
mengikuti jalan Nabi dan Para pengikutnya ( Al-Jama’ah) meskipun mereka
berkesendirian dalam jumlah dan pengikut.
Penjelasan gamblang tentang maksud Al-Jama’ah ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh sahabat yang mulia Abdullah ibn Mas’ud.
Berkata Abu Usamah Al-Hilaliy :” Benar dan baik, dan masalahnya seperti yang dia katakan, karena Thaifah Almanshurah (kelompok yang dimenangkan) adalah Al-Jama’ah, karena Al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu hanya sendirian, sebagaimana yang telah didefinisikan oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
Dari Amr bin Maimun Al-Audiy Radhiayallahu ‘anhu beliau berkata :
“Artinya : Muadz bin Jabal mendatangi kami di masa Rasulullah
lalu masuklah kedalam hatiku perasaan cinta kepadanya, kemudian aku
bermulazamah (belajar) dengannya sampai aku memakamkannya di Syam,
kemudian aku bermulazamah (belajar) kepada orang yang paling fakih
setelah beliau yaitu Abdullah bin Mas’ud, kemudian pada suatu hari
disebutkan kepadanya pengunduran shalat di waktunya, maka beliau berkata
: shalatlah kalian di rumah-rumah kalian dan jadikanlah shalat kalian
bersama mereka nafilah. Berkata Amru bin Maimuun : Dikatakan kepada
Abdullah bin Mas’ud : Bagaimana sikap kami terhadap Jama’ah ? Lalu
beliau menjawab kepadaku : Wahai Amru bin Maimuun sesungguhnya Jumhur
Jama’ah (kebanyakan orang-orang yang berjama’ah) merekalah yang
menyelisihi Al-Jama’ah, dan Al-Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun kamu sendirian” [Dikeluarkan
oleh Al-Lalikaaiy dalam Syarh Ushul I'tikad Ahlus Sunnnah wa Jama'ah
(160) dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyqi 13/322/2]
[3]. As-sawaadul A’dzam (kelompok paling besar) sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Radhiyallahu ‘anhu.
Lafadz-lafadz hadits yang shahih ini maknanya satu dan tidak berbeda,
sinonim dan tidak berselisih, segaris dan tidak bertolak belakang,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Ajuuriy dalam kitabnya Asy-Syariat hal.13-15, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Siapakah An-Najiyah (golongan yang selamat) ? dan menjawab dalam satu hadits Maa anaa ‘alaihi al-yauma wa ashaabii (siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang) dan dalam hadits yang kedua Al-Jama’ah serta dalam hadits yang ketiga As-Sawaadul A’dzam (kelompok paling benar) dan dalam hadits keempat Kuluhaa fii an-naari ila waahidah wa hiyaa al-jama’ah (semuanya di dalam neraka kecuali satu yaitu al-Jama’ah).
Saya Al-Ajuuriy berpendapat : “(empat penyebutan tersebut di atas) Maknanya satu -Insya Allah-”
Hal ini juga telah dinukilkan oleh Abu Syaamah dalam kitabnya
Al-Baa’its ‘Ala Inkaril Bidaa’ wal Hawaadits hal.22 dalam rangka
berhujjah dengannya untuk perkataan beliau :
Dimana telah datang perintah memegang teguh Al-Jama’ah, maka
yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh kepada kebenaran dan
mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh itu sedikit dan yang
menyelisihinya itu banyak, karena kebenaran yang dimiliki Al-Jama’ah
pertama dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya
tidak memandang kepada banyaknya ahli kebatilan setelah mereka.
Ibnul Qayyim memuji perkataan ini dalam kitabnya yang hebat Ighatsatul Lahfaan Min Mashaaidisy Syaithan 1/69, dan berkata :
Alangkah bagusnya perkataan Abu Muhammad bin Ismail yang dikenal dengan Abu Syaamah dalam kitabnya Alhawadits wal bida’a :
” Dimana telah datang perintah memegang teguh Al-Jama’ah,
maka yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh kepada kebenaran dan
mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh itu sedikit dan yang
menyelisihinya itu banyak, karena kebenaran yang dimiliki Al-Jama’ah
pertama dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya
tidak memandang kepada banyaknya ahli kebatilan setelah mereka.”
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-hilaly berkata : “Telah jelas bagi orang yang dapat memandang, bahwa Al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun sendirian dan kelompok yang dimenangkan (At-Thaifah Al Manshurah)
ini disifatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai penegak kebenaran dan demikian juga lafadz kelompok (thaifah) terjadi pada satu atau lebih dalam bahasa Arab”.
Berkata ahli bahasa dan fiqih Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalafil Hadits hal. 45 :
Mereka berkata : “Paling sedikit untuk dinamakan Jama’ah adalah tiga dan mereka salah dalam hal ini, karena Thaifah itu bisa satu dan tiga dan lebih, karena thoifah bermakna satu bagian dan satu. kadang-kadang pula bermakna satu bagian dari kaum sebagaimana firman Allah Subhnahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh (Thoifah) sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [An-Nur : 2]
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-hilaly berkata : “Dan ini yang telah
disepakati oleh para imam ahli bahasa dan agama sebagaimana telah saya
jelaskan dalam kitab saya :Al-’Adillah Wasy Syawaahid ‘Ala Wujubil Akhadzi Bi Khobaril Waahid Fil Ahkaam Al-Aqaaid 1/23, maka tidak diragukan lagi (dapat dipastikan) bahwa Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) ini adalah Al-Jama’ah dan dia adalah As-Sawaadul A’dzam (kelompok yang terbesar) karena dia adalah Al-Jama’ah. [Dikeluarkan oleh Abu Na'im dalam Hilyatul Auliya' 9/239]
Berkata Ibnu Hibban dalam Shahihnya 8/44 : “Perintah berjama’ah dengan lafadz umum dan yang dimaksud darinya khusus ; karena Al-Jama’ah adalah
ijma’ para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
barangsiapa yang berpegang teguh kepada apa yang telah mereka pahami dan
menyelisihi orang-orang yang setelah mereka bukanlah termasuk orang
yang menyelisihi Al-Jama’ah dan tidak juga memisahkan diri
darinya. Baragsiapa yang menyelisihi mereka dan mengikuti orang-orang
setelah mereka maka dia menjadi penyelisih Al-Jama’ah. Dan Al-Jama’ah
setelah sahabat adalah kaum-kaum yang berkumpul padanya agama, akal,
ilmu dan senantiasa meninggalkan hawa nafsu yang mereka miliki walaupun
sedikit jumlah mereka dan bukanlah rakyat kecil dan awam walaupun mereka
banyak jumlahnya.”
Berkata Ishaaq bin Raahaawih : “Seandainya kamu bertanya kepada orang yang tidak tahu (bodoh) tentang As-Sawaadul A’dzam_kelompok
terbesar yang dijanjikan keselamatan-, niscaya mereka akan mengatakan :
Jama’ah (sekumpulan) orang-orang (yang jumlahnya banyak) , mereka tidak
mengetahui bahwa Al-Jama’ah adalah seorang alim yang berpegang
teguh kepada atsar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sunnahnya, maka siapa saja yang bersamanya dan mengikutinya maka dia
adalah Al-Jama’ah. “[Dikeluarkan oleh Abu Na'im dalam Hilyatul Auliya' 9/239]
Berkata Imam Asy-Syathibiy dalam kitabnya Al-Itishom 2/267
dalam menegaskan pemahaman Sunni yang shahih ini :” Lihatlah
pernyataannya !, niscaya akan jelas kesalahan orang yang menganggap
bahwa Al-Jama’ah adalah jama’ah (sekumpulan) orang-orang (yang
jumlahnya banyak) walaupun tidak ada pada mereka orang yang alim, ini
merupakan pemahaman orang-orang awam dan bukan pemahaman para Ulama.
Hendaklah orang yang telah mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala memantapkan pijakannya di tempat yang licin ini agar tidak
tersesat dari jalan yang lurus, dan taufiq itu hanya dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala.”
Berkata Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushul I’tikad Ahli Sunnah Wal Jama’ah 1/255 dalam menafsirkan Ath-Thaifah Al-Manshurah dan Firqatun Najiyah : ” Para penentang marah terhadap mereka ; karena mereka As-Sawadul A’dzam
dari mayoritas yang paling banyak mereka miliki ilmu, hukum, akal,
kesabaran, kekhilafahan, kepemimpinan, kekuasaan, dan politik, sedangkan
mereka orang-orang yang menegakkan shalat Jum’at dan perkumpulan,
shalat jama’ah dan masjid-masjid, manasik haji dan hari-hari raya, haji
dan jihad dan memberikan kebaikan kepada para perantau (emigran) dan
para pendatang (imigran) dan penjaga perbatasan-perbatasan dan harta
kekayaan negara, merekalah orang-orang yang berjihad fi sabilillah.”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fataawa 3/3455 : “Oleh karena itu disifatkan Firqatun Najiyah dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, merekalah mayoritas yang terbanyak dan As-Sawaadul A’dzam.”
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Renungkanlah kata-kata
yang bernilai tinggi ini wahai Saudara dan hapalkanlah, karena hal itu
dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan yang terjadi akibat memahami
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdahulu dalam
perpecahan umat di atas pemahaman salah orang awam dan prasangka
sebagian ahli fiqih, dan dapat melenyapkan syubhat-syubhat
(kerancu-rancuan) yang dilontarkan oleh para da’i kelompok-kelompok
sesat yang menolak hadits-hadits tersebut dengan dakwaan bahwa
hadits-hadits tersebut menyelisihi kenyataan yang ada. Karena dia
menetapkan (menghukum) mayoritas umat Islam masuk neraka dengan
prasangka dari mereka bahwa mayoritas umat Islam beragama dengan
kebid’ahan dan kesesatan, mereka tidak mengerti bahwa mayoritas umat
Islam telah ditarik oleh fitrah mereka yang selamat kepada Aqidah yang
benar -Insya Allah-, oleh karena itu tokoh-tokoh besar madzhab khalaf
berangan-angan untuk mati di atas agama ‘Ajaiz (orang-orang yang masih
selamat fitrahnya -pent).
Tidak diragukan lagi, bahwa Ath-Thoifah Al-Manshuraah inilah
yang berada di atas pemahaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya karena dia berada di atas kebenaran, sedangkan kebenaran
adalah apa yang telah ada diatasnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, maka siapa saja yang tetap teguh (komitmen) di atas
apa yang ada padanya Al-Jama’ah sebelum terjadi perpecahan, walaupun sendirian, maka dia adalah Al-Jama’ah yang dijanjikan keselamatan itu.
Dengan demikian jelaslah sudah ciri khas (syiar) manhaj Firqatun Najiyah dan Ath-Thoifah Al-Manshurah
yaitu : Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf –para pendahulu
yang benar- umat ini yaitu Muhammad dan orang -orang yang bersamanya
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat
dan berdakwah kepada persatuan umat diatas pemahaman ini, karena dia
merupakan solusi yang tepat untuk mengembalikan kejayaan umat ini yang
telah hilang dan mewujudkan cita-cita harapan mereka yang telah
diikrarkan. Karena dia adalah agama yang dibangun diatas fitrah, dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyampaikan perintahNya.
Adapun kondisi keadaan Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah telah disifatkan dengan empat sifat, yaitu :
[1] Laatajaalu Tha’ifah (senantiasa ada sekelompok), ini
bermakna senantiasa ada terus menerus tiap zaman sampai Allah menutup
usia kehidupan dunia ini.
[2] Dzohiriina ‘ala al-haq (menegakkan kebenaran) ini
bermakna kemenangan. Karena hanya kebenaranlah yang akhirnya akan menang
dan mendapat pertolongan Allah untuk menang
[3] Laayadzurruhum man khadzalahum walaa man khaalafahum
(tidak merugikan mereka orang-orang yang mencela (menghina) dan
menyelisihi mereka) bermakna membuat kemarahan ahlil bid’ah dan orang
kafir.
[4] Kuluhaa fii an-naari ilaa waahidah (semuanya di neraka kecuali satu) bermakna keselamatan dari neraka.
Adapun keberadaan (yang terus menerus) dan kemenangan, semua hadits-hadits At-Thaifah Al-Manshurah telah menunjukkan bahwa dia ada di atas komitmen terhadap Islam sampai hari kiamat dalam keadaan demikian.
Komitmen terhadap Islam ini ditunjukkan dengan sikap mereka yang
selalu melakukan rujuk kepada Al Quran dan Al Hadits jika terdapat satu
permasalahan. Mereka tidak mau memutuskan suatu permasalahan kecuali
dengan cara kembali kepada Al-Quran dan Al Hadits. Mereka adalah orang
yang paling menguasai tentang hadits, sehingga mereka juga disebut
sebagai Ahlul Hadits. Mereka juga orang yang
paling paham tentang sunnah dan selalu mengusung issue persatuan ummat
di atas sunnah, sehingga mereka disebut sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah
. Mereka adalah orang yang selalu memahami Al Quran dan Sunnah
berdasarkan pemahaman para salaf –generasi pendahulu yang dijamin
berpemahaman bersih dari segala bentuk kesesatan-, sehingga mereka
disebut sebagai salafiyah. Mereka selalu meniti atsar para sahabat, sehingga mereka disebut sebagai Atsariyah.
Ini merupakan sifat yang agung yang telah dijelaskan oleh ahli ilmu,
karena terdapat padanya mu’jizat yang sangat jelas yang dimiliki
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -berupa terjadinya apa yang
telah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan.
Berkata Al-Manaawiy dalam Faidhul Qadir 6/395 : “Terdapat padanya mu’jizat yang jelas, karena Ahlus Sunnah
senantiasa menang pada setiap masa sampai sekarang, dari mulai
timbulnya kebid’ahan dengan aneka ragam bentuk dan jenisnya seperti
Khawarij, Mu’tazilah, Rafidhah dan yang lain belum ada seorangpun dari
mereka bahkan setiap kali mereka menyalakan api peperangan Allah
Subhnahu wa Ta’ala telah memadamkannya dengan cahaya Al-Kitab dan
As-Sunnah, Pujian dan karunia hanya milik Allah.”
Adapun untuk menjengkelkan ahli bid’ah dan orang kafir, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala tanam kelompok yang baik ini lalu tumbuh
tunasnya dan menguat serta tegak lurus di atas pokoknya tidak tampak
bengkok bahkan kuat lagi kokoh, apabila dilihat oleh pakar pertanian
yang mengetahui manakah yang tumbuh subur dan tidak subur, yang berbuah
darinya dan yang tidak, niscaya mereka gembira dan menyukainya sedangkan
apabila tampak dalam pandangan orang-orang sesat, pendusta, dan
pembohong niscaya hati-hati mereka dipenuhi oleh kemarahan dan
kebencian….katakanlah matilah kalian dengan kemarahan tersebut.
Inilah firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam mensifati generasi teladan :
“Artinya : Perumpamaan mereka di Injil seperti tanaman
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya ; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min)” [Al-Fath : 29]
Tidak diragukan lagi, ini juga merupakan sifat Ath-Thaifah Al-Manshurah Ahlil Hadits
yang berjalan di atas jejak-jejak generasi awal yang menjadi teladan
yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dan
mereka menimba dari sumber yang murni baik Al-Kitab maupun As-Sunnah.
Kesengajaan dalam menjengkelkan orang-orang kafir ini menjelaskan
bahwa kelompok ini adalah tanaman yang di tanam Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan dipelihara dengan pembinaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan dalil kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena
kelompok ini adalah alat untuk menjengkelkan musuh-musuh Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang berupaya mematikan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala
(agama) dan memadamkan cahanya dari jiwa-jiwa kaum muslimin akan tetapi
Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya walaupun
orang-orang musyrik benci dan senantiasa memenangkan agama-Nya walaupun
orang-orang kafir membencinya.
Oleh karena itu didapatkan Ahli Bid’ah selalu membenci Ahlul Hadits dalam setiap waktu dan tempat. Berkata Abu Utsman Abdurrahman bin Isma’il Ash-Shabuniy dalam kitabnya Aqidatus Salaf Ashaabil Hadits 101-102 : “Tanda-tanda Ahlul Bida’ cukup jelas bagi Ahlus Sunnah,
ciri-ciri dan tanda-tanda yang paling jelas adalah besarnya kebencian
mereka terhadap penyampai hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka melecehkan, menghina serta menamakan Ahlul Hadits dengan sebutan Hasyawiyah, Jahalah (orang bodoh), Zhahiriyah, dan Musyabihah
dengan keyakinan mereka bahwa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu sedangkan ilmu itu adalah apa
yang disampaikan Syaithan kepada mereka dari hasil pikiran akal mereka
yang rusak, dan was-was diri mereka yang kelam, bisikan hati-hati mereka
yang kosong dari kebaikan dan perkataan mereka serta hujjah-hujjah
mereka yang sangat lemah bahkan syubhat-syubhat mereka itu lemah lagi
batil.
“Artinya : Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan
ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” [Muhammad : 23]
“Artinya : Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki” [Al-Hajj : 18]
Berkata Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan yang wafat tahun 258H : “Tidak ada di dunia ini seorang ahli bid’ah kecuali membenci Ahlil Hadits, maka apabila seorang berbuat kebid’ahan maka hilanglah darinya rasa manis hadits.[1]” (Diriwayatkan
oleh Al-Kahtib Al-Baghdadiy dalam Syaraf Ashhabil Hadits hal.73 dan
Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal.4 dan dari jalan
periwayatannya diriwayatkan oleh Ash-Shabuniy dalam Aqidatis Salaf
Ashhabil Hadits hal.102. Saya (syaikh) berkata : Sanadnya shahih.)
Dan berkata Abu Nashr bin Sallam Al-Faaqih yang wafat tahun 305H :
“Tidak ada yang lebih berat dan lebih dibenci oleh orang-orang yang
menyimpang daripada mendengar dan meriwayatkan hadits dengan
sanadnya.[2]” (Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadiy dalam
Syaraf Ashhabil Hadits hal. 73-74 dan Al-Haakim dalam Ma’rifatu ” Ulumil
Hadits hal.4 dan Ash-Shabuniy dalam Aqidatis Salaf hal. 104. Saya
(Syaikh) berkata :Sanadnya Shahih.)
Dari Isma’il bin Muhammad bin Ismail At-Tirmidziy, beliau berkata :
“Dahulu saya dan Ahmad bin Al-Hasan At-Tirmidziy bersama Abu Abdillah
Ahmad bin Hanbal, lalu dia berkata : Wahai Abu Abdillah, mereka
menceritakan kepada Abu Qahilah di Mekkah tentang Ahlil Hadits,
lalu Abu Qahilah berkata : Sebuah kaum yang jelek. Lalu Ahmad bin
Hanbal berdiri sambil mengangkat pakaiannya dan berkata : Zindiq !,
zindiq !, zindiq !, lalu masuk ke rumahnya. [3]” (Diriwayatkan
oleh Al-Khathib Al-Baghdadiy dalam Syaraf Ahshabil Hadits hal. 74 dan
Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal.4 dan dari jalan
periwayatannya, diriwayatkan oleh Ashhabuniy dalam Aqidatis Salaf
Ashhabil Hadits hal.103 dan Ibnul Jauziy dalam Manaqib Ahmad hal. 180
serta Abu Ya’la dalam Thabaqatul Hanabilah 1/38. Saya (Syaikh) berkata :
Sanadnya Shahih.)
Berkata Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulumil Hadits hal. 4:
Demikianlah yang telah kami mengerti dalam perjalanan dan
negeri-negeri kami tentang semua orang yang memiliki sesuatu
penyimpangan dan kebid’ahan tidaklah memandang kepada Ath-Thaifah Al-Manshurah kecuali dengan pandangan pelecehan dan menamainya dengan Al-Hasyawiyah.
Berkata Abu Haatim Arraaziy : “Tanda Ahlil Bid’ah adalah mencela Ahlil Atsar, tanda zindiq adalah penamaan mereka terhadap Ahlil Atsar dengan Al-Hasyawiyah, mereka menginginkan dengannya pembatalan atsar. Tanda Qadariyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus Sunnah dengan Musyabihah dan tanda Rafidhah adalah penemaan mereka Ahlil Atsar Nabitah Nashibah. [4] ” (Disebutkan
oleh Abu Hatim dalam tulisannya Ushul Assunnah wa I’tiqaad Addin yang
dicetak dalam majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah edisi bulan Ramadhan tahun
1403 dan diriwayatkan juga oleh Ash-Shabuniy dalam Aqidatussalaf hal.
105 dan Allaalikaiy dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah
2/179. Saya (syaikh) berkata : Sanadnya Shahih.)
Berkata Ash-Shobuniy dalam Aqidatus Salaf hal. 105-107 : “Semua ini adalah fanatisme dan itu tidak dikenal Ahlus Sunnah kecuali satu nama saja yaitu Ahlil Hadits.”
Kemudian beliau berkata : “Aku telah melihat Ahlil Bid’ah berkaitan dengan gelaran-gelaran yang mereka tuduhkan kepada Ahlus Sunnah
-(sedangkan mereka tidak mempunyai satupun dari hal-hal tersebut
sebagai anugrah dan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala)- sebagaimana
telah berjalan di atas jalannya kaum musyrikin -(semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala melaknat mereka)- terhadap Rasulullah karena telah memberikan
celaan kepadanya, lalu sebagian orang musyrik menggelari beliau dengan
gelar tukang sihir, tukang ramal (dukun), penyair, orang gila,
pembohong, dan pendusta, sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
jauh dan berlepas diri dari hal itu semuanya dan beliau hanyalah seorang
Rasul dan Nabi yang terpilih, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat
perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka. Mereka
tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)” [Al-Furqaan : 9]
Demikian juga Ahlul Bid’ah -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merendahkan mereka- memberikan celaan kepada para penyebar hadits-hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penukil atsar-atsar beliau dan
perawi hadits-hadits beliau yang mentauladani dan mencontoh sunnah
beliau yang dikenal dengan Ashabul Hadits, lalu menggelari mereka, sebagiannya menggelari mereka Hasyawiyah, sebagiannya lagi Musyabihah, sebagiannya lagi Nabitah, sebagiannya lagi Nashibah dan sebagian yang lainnya dengan Jabariyah. Sedangkan Ashabul Hadits
terjaga, berlepas diri, bersih dan suci dari celaan-celaan itu. Mereka
tidak lain adalah pemilik sunnah yang cemerlang, sejarah yang diridhoi,
jalan-jalan yang lurus dan hujjah-hujjah yang agung lagi kokoh, yang
telah diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengikuti
kitab-Nya, wahyu dan firman-Nya dan mengikuti wali-wali-Nya yang paling
dekat serta mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits-hadits beliau yang didalamnya beliau memerintahkan umatnya kepada
kebaikan dalam ucapan dan perbuatan dan melarang mereka dari
kemungkaran pada keduanya serta membantu mereka dalam berpegang teguh
kepada sejarah beliau dan mengambil petunjuk dengan berpegang erat
kepada sunnahnya.
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Sebagaimana telah
bersekongkol umat-umat (di luar Islam) terhadap umat Islam, maka
demikian juga telah kumpul bersekongkol kelompok-kelompok Ahil Bid’ah terhadap As-Salaf Ahlil Hadits,
karena mereka tinggi kedudukannya di antara kelompok-kelompok tersebut
sebagaimana umat Islam tinggi kedudukannya diantara umat-umat yang lain.
Mereka menginginkan dengan celaan-celaan tersebut pencelaan terhadap
para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana telah
dilakukan oleh pendahulu mereka sebelumnya dari kaum Rafidhah, Khawarij
dan Qadariyyah terhadap para pendahulu kita sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dari Ahmad bin Sulaiman At-Tusturiy, beliau berkata :” Aku telah
mendengar Abu Zur’ah berkata : ‘Jika kamu melihat seseorang melecehkan
seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah
dia itu Zindiq dan hal itu dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menurut kita adalah benar, Al-Qur’an adalah kebenaran dan yang
menyampaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah ini kepada kita hanyalah para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka
hanyalah ingin mencela para saksi kita untuk membatalkan Al-Kitab dan
As-Sunnah, mereka lebih berhak dicela, mereka itu zindiq.[5]” (Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadiy dalam Al-Kifayah hal.48 dan selainnya. Saya (syaikh) berkata : Dan dia shohih.)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 4/96 : “Untuk lebih menjelaskan kamu bahwa sesungguhnya orang-orang yang mencela Ahlil Hadits
dan berpaling dari madzhab mereka tidak diragukan lagi adalah
orang-orang bodoh, zindiq, lagi munafiq. Oleh karena itu ketika sampai
kepada Imam Ahmad berita tentang Abu Qahilah ketika disebutkan tentang Ahlil Hadits
di Mekkah, lalu dia berkata : Satu kaum yang jelek. Lalu beliau berdiri
sambil mengangkat pakaiannya dan berkata : Zindiq, zindiq, zindiq lalu
masuk ke rumahnya karena beliau mengetahui isi kandungan ucapan Abu
Qahilah.”
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Ya, demikianlah para Ulama
Rabbani umat ini selalu waspada terhadap para da’i kesesatan dan
kelompok-kelompok sesat serta pengikut mereka dalam peringatan dan
perhatian orang-orang yang baik tidak terjatuh pada kelompok, tipu daya
dan penipuan mereka.”
Firqotun Najiyah (golongan orang-orang yang selamat)
Ath-Thoifah manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) Adalah
Al-Ghurabaa (orang-orang yang terasing)
Hadts-hadits yang menerangkan keterasingan Islam Akhir Zaman.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan
akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang
yang asing (Al-Ghuraba)” [Diriwayatkan oleh Muslim 2/175-176 -An-Nawawiy]
[a] Hadits Abdillah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu belaiu berkata :
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan
akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang
yang asing (Al-Ghuraba) beliau berkata : Ditanya Rasulullah siapakah
Al-Ghuraba itu ? Beliau menjawab : Orang yang menjauhi kabilah-kabilah” [Hadits Lemah : Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab saya : Thubaa Lilghuraba' No.1]
Dan dalam riwayat lain :
“Artinya : Orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak” [Shahih, sebagaimana dalam referensi terdahulu No. 1]
[b] Hadits Abdillah bin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
Telah bersabda Rasulullah:
“Artinya : Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan
akan kembali asing sebagaimana awalnya, mereka berlindung diantara dua
masjid sebagaimana ular berlindung dalam lubangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim 2/76 -An-Nawawiy]
[c] Hadist Abdillah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
Telah bersabda Rasulullah pada suatu hari dan kami bersama beliau:
“Artinya : “Beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba)
ditanya Rasulullah siapakah Al-Ghuraba itu ? Beliau menjawab:”
orang-orang shalih diantara banyaknya orang-orang yang buruk, orang yang
menyelisihi mereka lebih banyak daripada mentaatinya” [Hadits Shahih karena banyak jalan periwayatannya sebagaimana telah kami jelaskan dalam kitab Thubaa Lilghuraba (3)]
Dan dalam riwayat yang lain,
“Artinya : Orang-orang yang lari mengasingkan diri bersama
agamanya yang Allah akan membangkitkan mereka pada hari kiamat bersama
Isa bin Maryam” [Hadits lemah sebagaimana dalam refensi diatas (3)]
[d] Hadits Ibnu Abbas [6] dan Anas bin Malik [7] semisal dengan hadits Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[e] Hadits Jaabir bin Abdillah [8] dan Sahal bin Saad [9] seperti hadits Ibnu Mas’ud dalam riwayat yang kedua.
[f] Hadits Abdurrahman bin Sannah Radhiyallahu ‘anhu beliau telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesunguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan
kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang
asing (Al-Ghuraba), ada yang bertanya : Wahai Rasulullahj siapakah
Al-Ghuraba itu ? Beliau menjawab : Orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia rusak dan
demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya sesunguhnya iman akan mengalir
kembali ke Madinah sebagaimana mengalirnya air banjir, dan demi dzat
yang jiwaku ada ditanganNya sungguh Islam akan kembali ke daerah dua
masjid sebagaimana ular kembali berlindung ke lubangnya” [Hadits
lemah sebagaimana dalam referensi diatas (10) dan hadits ini memiliki
jalan periwayatan lain yang shahih dengan lafadz yang berbeda]
[g] Hadits Saad bin Abi Waqash seperti hadits Abdurrahman bin Sannah Radhiyallahu ‘anhu [Shahih lihat referensi diatas]
[h] Hadits Amru bin Auf Al-Muzaaniy Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya agama ini akan kembali ke Hijaz
sebagaimana kembalinya ular ke lubangnya dan agama ini terikat di Hijaz
sebagaimana terikatnya domba di puncak gunung, sesungguhnya agama ini
dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing maka beruntunglah
Al-Ghuraba yaitu orang-orang yang memperbaiki apa yang telah merusak
orang-orang setelahku pada sunnahku” [Hadits lemah sekali]
Kesimpulannya, hadits-hadits Al-Ghuraba ini adalah mutawatir atau
memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak yang tidak mungkin pra
perawinya bersepakat dusta. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam
Suyuthiy dalam kitabnya Tadribur Rawiy (2/180) As-Sakhawiy dalam kitabnya Al-Maqaasidul Hasanah hal.114, Al-Ghumariy dalam komentarnya terhadap kitab Al-Maqaashidul Hasanah hal.114 dan Al-Kataaniy dalam kitabnya Nadzmul Mutanatsir hal. 33-34.
Tafsir Kata Al-Ghuraba’
[1] Al-Ladziina yuslihuuna idzaa fasada an-nasu [orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak]
[2] Annasun sholihuuna fi unaasi suu’in katsirin man ya’shiihim aktsaru mimman yuthii’uhu
[orang-orang shalih diantara banyaknya orang-orang yang buruk, orang
yang menyelisihi mereka lebih banyak dari yang mentaatinya]
Apakah terdapat perbedaan antara Al-Ghuraba’ dengan Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah ?
Al-Ajuriy berkata : “Dalam kitab Sifatul Ghuraba’ minal Mu’minin hal : 27
Sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam ” wasaya’uudu ghoriban” [Dan akan kembali asing]
Bermakna -wallahu a’lam-: ” hawa-hawa nafsu yang menyesatkan merebak
lalu banyak dari manusia yang tersesat dengannya dan tinggallah ahlil
haq (ahli kebenaran) yang berada di atas syari’at Islam menjadi asing di
kalangan manusia, tidakkah kalian mendengar sabda Rasulullah.”
“Artinya : Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga
kelompok. Semuanya didalam neraka kecuali satu. Ada yang bertanya :
Siapakah yang selamat itu ? Beliau menjawab : Siapa yang berada pada
keadaanku sekarang dan para sahabatku”
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Kamu lihat Al-Ajuriy menafsirkan Al-Ghuraba’ dengan Al-Firqatun Najiyah.”
Al-Hafidz Ibnu Rajaab Al-Hambaliy berkata dalam kitab Kasyfil Kurbah Fi Washfi Hali Ahlil Ghurbah
hal. 22-27: “Fitnah syahwat dan hawa nafsu yang menyesatkan itulah yang
menyebabkan ahlil kiblat berpecah belah dan menjadi
berkelompok-kelompok. Sebagaimana mereka mengkafirkan sebagian yang lain
sehingga mereka bermusuhan, berpecah belah, dan berkelompok-kelompok
setelah dahulunya mereka bersaudara dan diatas satu hati. Tidak selamat
dari perpecahan ini kecuali satu kelompok yang selamat merekalah yang
diterangkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang
menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina dan tidak
pula orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat dan mereka
dalam keadaan demikian”.
Mereka di akhir zaman merupakan Al-Ghuraba’ (orang-orang
yang asing) yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut sebagai
orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak, orang yang
memperbaiki apa yang telah dirusak orang-orang setelahku dari sunnahku,
orang-orang yang lari mengasingkan diri bersama agamanya dari
fitnah-fitnah, dan mereka adalah orang-orang yang menjauhi
kabilah-kabilah karena mereka sedikit sehingga tidak didapatkan
seorangpun pada sebagian kabilah sebagaimana orang-orang yang masuk
kedalam Islam pertama-tama pun demikian dan dengan ini para Ulama
menafsiri hadits ini.”
Al-Auzaa’iy berkata dalam menafsirkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya Islam tidak akan lenyap namun akan hilang
ahlis sunnah sampai tidak tersisa di satu negara kecuali hanya satu
orang”
Karena makna inilah banyak ditemui dari perkataan Ulama Salaf pujian terhadap As-Sunnah dan pensifatannya dengan keterasingan dan ahlinya dengan sedikit, sehingga Al-Hasan berkata kepada sahabat-sahabat beliau :
“Wahai Ahlus Sunnah lemah lembutlah kalian semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala merahmati kalian, karena kalian termasuk orang-orang yang paling
sedikit.”
Yunus bin Ubaid berkata : “Tidak ada satupun yang lebih asing dari As-Sunnah dan lebih asing dari orang yang mengenalnya.”
Dan dari Sufyan At-Tsauriy, beliau berkata :” Berbuat baiklah kepada Ahlis Sunnah karena mereka adalah Ghuraba’.”
Dan yang dimaksud para imam-imam tersebut dengan As-Sunnah adalah jalan
hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dia dan para
sahabatnya berada atasnya yang selamat dari syubhat-syubhat dan
syahwat-syahwat.
Oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyaadh berkata bahwa Ahlus Sunnah adalah
orang yang mengerti apa saja yang masuk ke perutnya dari barang-barang
yang halal. Dan itu karena memakan barang-barang halal merupakan perkara
sunnah yang paling besar yang ada di atasnya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya kemudian As-Sunnah dalam adat banyak dari
kalangan para ulama mutaakhirin dari Ahlil Hadits dan yang lain menjadi
ibarat dari segala yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i’tikad
khususnya dalam masalah-masalah keimanan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, para malaikat, kitab-kitab suciNya dan para RasulNya serta hari
kiamat dan demikian juga dalam masalah-masalah taqdir dan keutamaan para
sahabat. Mereka menyusun karangan-karangan dalam ilmu ini dengan nama
As-Sunnah karena bahayanya sangat besar dan orang yang menyelisihinya
berada di ujung kehancuran.
Adapun As-Sunnah yang sempurna adalah jalan hidup yang selamat dari
syubhat dan syahwat-syahwat sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Al-Hasan, Yunus bin Ubaid, Sufyan dan Al-Fudhail serta yang lainnya,
oleh karena itu ahlinya disifatkan dengan keasingan pada akhir zaman
karena sedikit dan asingnya mereka.
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Renungkanlah bagaimana Al-Hafizd Ibnu Rajab menjadikan Al-Ghuraba adalah Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dan tidak ada perbedaan diantara mereka.”
Jadi kesimpulannya adalah bahwasannya tidak ada perbedaan diantara
penamaan-penamaan ini karena semuanya mengantar kepada satu hakikat,
inilah yang telah dijelaskan ahlil ilmu dari kalangan salaf.
Ahli Hadits Dan Siapakah Salaf Ahli Hadits
Pembahasan “Ahli Hadits” ini dilihat dari beberapa sisi :
Pertama.
Kesepakatan ahlil ilmu dan iman dalam menafsirkan Al-Firqayun Najiyah dan Ath-Thoifah Al-Masnhurah dengan Ahlil Hadits.
Ketahuilah wahai pencari kebenaran, sesungguhnya para Ulama telah bersepakat pendapat bahwa Ahlil Hadits adalah Ath-Thoifah Al-Manshurah dan Al-Firqatun Najiyah.
Disini saya paparkan di hadapan anda sekalian sejumlah besar dari
mereka sehingga kamu tidak akan mendapatkan jalan kecuali mengikuti
jalan mereka dan meniti jejak langkah mereka serta mengikuti pemahaman
mereka. Karena merekalah pembawa agama Rabb semesta alam yaitu
orang-orang yang berbicara dengan apa yang disampaikan Al-Kitab dan menegakkan apa yang ditegakkan oleh As-Sunnah. Barangsiapa yang tidak mengikuti jalan mereka berarti telah memperbodoh diri mereka sendiri.
[1] Abdullah bin Al-Mubaarok, wafat tahun 181H
[2] Ali bin Almadiniy, wafat tahun 234H
[3] Hamad bin Hambal, wafat tahun 241H
[4] Muhammad bin Ismail Al-Bukhariy, wafat tahun 256H
[5] Ahmad bin Sinaan, wafat tahun 258H
[6] Abdullah bin Muslim, wafat tahun 267H
[7] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, wafat tahun 276H
[8] Muhammad bin Hibban, wafat tahun 354H
[9] Muhammad bin Al-Husein Al-Ajuriy, wafat tahun 360H
[10] Muhammad bin Abdullah Al-Hakim An-Naisaaburiy, wafat tahun 405H
[11] Ahmad bin Ali bin Tsabit Al-Khotib An-Naisaaburiy, wafat tahun 463H
[12] Al-Husein bin Mas’ud Al-Baghawiy, wafat tahun 516H
[13] Abdurrahman bin Al-Jauziy, wafat tahun 597H
[14] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy, wafat tahun 676H
[15] Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah Syaikhul Islam, wafat tahun 728H
[16] Ishaaq bin Ibarahim Asy-Syaatibiy, wafat ahun 790H
[17] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqaalaaniy, wafat tahun 881H [1]
([1] Telah saya (syaikh) paparkan perkataan-perkataan mereka
dengan disertai referensinya dalam kitab saya Al-Alaali’ Al-Mantsurah Fi
Aushofi Ath-Thoifah Al-Manshuroh, demikian juga Syaikh Abu Muhammad
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaliy telah memaparkannya dalam kitabnya : Ahlul
Hadits Hum Ath-Thoifah Al-Manshuroh wa Al-Firqatun Najiyah.)
Semua iman-imam tersebut di atas -dan yang lainnya pun banyak- telah menegaskan bahwa Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thoifah Al-Manshurah adalah Ahlil Hadits dan tidaklah tersesat orang yang mengambil teladan perkataan dan meniti jejak langkah mereka.
An-Nawawiy telah menukilkan kesepakatan ahli ilmu dalam hal ini dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma’ wal Lughat,
lalu berkata ; “Padahal mereka sendiri memiliki keutamaan yang besar
dan dalam menjaga ilmu merupakan bukti kebesaran, sehingga dalam Shahihain diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‘Artinya : "Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina"
Seluruh ulama atau mayoritasnya berpendapat bahwa mereka adalah pemikul ilmu.
Kedua
Mereka
adalah orang yang berjalan di atas manhaj para sahabat dan orang yang
mengikuti mereka dengan baik dalam berpegang teguh terhadap Al-Kitab dan
As-Sunnah serta mendahulukannya atas sekalian pendapat baik dalam
aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, atau perkara apa saja dari
perkara-perkara kehidupan yang kecil ataupun yang besar.
Dan mereka adalah orang-orang yang komitmen (kokoh pendiriannya)
dalam pokok-pokok agama dan cabangnya di atas wahyu yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala turunkan kepada hamba dan RasulNya serta orang pilihan dari
makhlukNya Muhammad bin Abdillah.
Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan dakwah kepada Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -baik perkataan,
amalan maupun perbuatan- dengan segala kesungguhan, tekad, jujur dan
istiqomah.
Merekalah orang-orang yang menghunus pedang ilmu dan menegakkan
kebenaran yang telah asing sebagai upaya untuk menghilangkan
penyimpangan orang-orang yang keterlaluan, ajaran orang-orang yang sesat
dan ta’wilnya orang-orang bodoh dari agama dan pemeluknya.
Mereka orang-orang yang berjihad menghadapi semua kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari manhaj para sahabat baik dia itu Mu’tazilah atau Khawarij atau Syi’ah Rafidhah atau Murji’ah atau Shufiyah atau Bathiniyah
dan semua orang yang menyimpang dari petunjuk dan mengikuti hawa nafsu
pada setiap zaman dan tempat tidaklah mereka menghiraukan celaan orang
yang mencela dalam hal itu.
Merekalah orang-orang yang bergerak mewujudkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali-Imron : 103]
Merekalah orang-orang yang mempraktekkan firman Allah Subhnahu wa Ta’ala :
“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka” [Al-Ahzab : 36]
Sehingga mereka menjadi orang yang paling jauh dari menyelisihi
perintah Allah Subhnahu wa Ta’ala dan RasulNya dan menjadi orang yang
paling jauh dari fitnah-fitnah yang tampak atau yang tidak tampak.
Merekalah orang-orang yang menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai jalan hidup mereka.
“Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya” [An-Nisaa : 65]
Sehingga mereka mengagungkan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah dengan
benar dan mengedepankannya atas semua perkataan manusia, berhukum
kepadanya dengan penuh keridhoan dan kelapangan dada tanpa ada
kesempitan dan keengganan. Mereka berserah diri penuh kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan semua
sisi kehidupan mereka.
Salaf Ahli Hadits dengan makna ini sangat luas cakupannya, sampai mencakup ribuan para Ulama ‘Amilin
(yang beramal dengan ilmunya) yang telah termuat nama-nama mereka di
dalam catatan sejarah dan buku-buku telah penuh dalam menyebut mereka.
Mereka telah mengangkat kejayaan zaman dengan ilmu, keutamaan, dan amal
mereka.
Barangsiapa yang ingin mengetahui hakekatnya tidak ada pilihan
baginya kecuali kembali kepada buku-buku dan karya-karya yang ada, dan
disini saya jelaskan tingkatan-tingkatan mereka (thabaqat mereka) :
Mereka para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
seluruhnya yang telah beriman, melihat beliau dan mati dalam keadaan
Islam, diantara tokoh-tokoh mereka Al-Khulafa’ur Rasyidin, kemudian
sepuluh orang yang telah dipersaksikan sebagai ahli surga.
Mereka tokoh-tokoh tabi’in, diantara tokoh-tokoh mereka Uwais
Al-Qorniy, Said bin Al-Musayyib, Urwah bin Az-Zubair, Saalim bin
Abdillah bin Umar, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud,
Muhammad bin Al-Hanafiyah, Ali bin Al-Hasan Zainal Abidin, Al-Qaasim bin
Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashriy, Muhammad bin
Sirin, Umar bin Abil Aziz dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhriy.
Mereka Atba’ut Tabi’in, diantara mereka tokoh-tokoh mereka Malik bin
Anas, Al-Auzza’iy, Sufyan Ats-Tsauriy, Sufyan bin Uyainah Al-Hilaliy dan
Al-Laits bin Saad.
Kemudian orang yang mengikuti mereka, diantara tokoh-tokoh mereka
Abdullah bin Al-Mubaarok, Waki’, Asy-Syafi’i, Abdurrahman bin Mahdiy dan
Yahya bin Said Al-Qathan.
Kemudian para murid mereka yang mengikuti manhaj mereka, diantara
tokoh-tokoh mereka Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Ali bin
Al-Madiniy.
Kemudian murid-murid mereka, diantara tokoh-tokoh mereka Al-Bukhariy,
Muslim, Abu Hatim, Abu Zur’ah, At-Tirmidiziy, Abu Daud dan An-Nasa’i.
Kemudian orang-orang yang berjalan dengan jalan mereka selanjutnya
dari generasi-generasi yang menyusul mereka seperti Ibnu Jarir
Ath-Thabariy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy, Al-Khatib
Al-Baghdadiy, Ibnu Abdil Barr An-Namiriy, Abdul Ghaniy Al-Maqdisiy, Ibnu
Ash-Sholaah, Ibnu Taimiyah, Al-Mizziy, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabiy, Ibnul
Qayim Al-Jauziyah dan Ibnu Rajab Al-Hambaliy.
Kemudian orang yang menyusul dan mengikuti jejak langkah mereka dalam
bepegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan memahaminya dengan
pemahaman para sahabat sampai tegaknya hari kiamat dan orang yang
terkahir dari mereka memerangi Dajjal. Mereka inilah yang kami maksudkan dengan As-Salaf Ahlul Hadits.
Dan tidak diragukan lagi bahwa penisbatan ini tidak dianggap benar kecuali kalau amalan orang yang mengakunya sesuai dengan manhaj Nabi.
Apakah terbayangkan dalam pikiran seorang yang berakal bahwa
penisbatan ini adalah omong kosong ? atau diragukan ? atau ada tapi
sekedar pengakuan ? atau tidak jelas manhajnya tergantung hawa nafsu
pengikutnya.
Penisbatan ini megharuskan orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya untuk benar-benar ber-Islam
sebagai bukti kebenaran pengakuannya sehingga pengakuannya betul-betul
benar. Siapapun juga di sepanjang kurun waktu dan pergantian generasi
yang ada tidak akan benar penisbatannya kepada Ahlul Hadits ini
kecuali dia bersesuaian dengan manhaj nabawi dalam aqidah, suluk, dan
ibadahnya serta tidak mengerjakannya kecuali dari itu dan tidak tunduk
kecuali kepadanya sampai dia menjumpai Rabbnya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah yang telah mejelaskan seluruhnya dalam kata-kata yang indah dalam Majmu’ Fatawa 4/95, beliau berkata : “Dan kami tidak memaksudkan dengan Ahlul Hadits
hanya terbatas pada mendengar, menulis atau meriwayatkan hadits akan
tetapi kami maksudkan dengan mereka adalah setiap orang yang benar-benar
menjaga hadits, mengenal dan memahaminya serta mengikutinya secara
lahir dan batin, dan demikian juga Ahlul Qur’an. Mereka paling tidak
memilki sifat mencintai Al-Qur’an dan As-Sunnah, meneliti dan mengenal
makna-maknanya serta beramal dengan apa yang telah mereka ketahui dari
konsekwensi-konsekwensinya, sehingga Ahlul Fiqih dari Ahlul Hadits lebih
mengetahui Rasulullah dari Ahlul Fiqih lainnya, shufinya [2] mereka
lebih mencontoh Rasulullah dari pada shufi-shufi yang lainnya dan para
penguasa mereka lebih pantas berpolitik nabawi daripada yang lainnya
serta orang awam mereka lebih loyal (wala’) kepada Rasulllah dari yang
lainnya.
( [2] Bukanlah maksudnya shufi-shufi sebagai satu kelompok yang
memiliki aqidah dan pemikiran yang menyimpang dari Islam sebagaimana
telah saya jelaskan dalam kitab saya Al-Jamaat Al-Islamiyah fi Dhuil
Kitab Was Sunnah bi Fahmi Salaful Umat hal.82-152 dan yang dimaksud
adalah Adz-Dzuhad (orang-orang zuhud) Wallahu ‘alam)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pembicaraan Tentang Hal Ini Ditinjau Dari Beberapa Sisi :
Pertama : Sebab Penamaan Ini.
Syaikhul Islam di Majmu’ Fatawa 3/157 dalam menjelaskan hal ini : “Kemudian termasuk jalannya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin dan mengikuti jalnnya As-Sabiqunal Awalun
(orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan kaum muhajirin dan
Anshor serta mengikuti wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika bersabda.
“Artinya : Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah
para Khalifah Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah
kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian. Dan waspadalah
terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) karena hal itu
adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”
Dan mereka mengetahui bahwa
sebenar-benarnya kalam adalah kalamullah dan sebaik-baiknya contoh
teladan adalah contoh teladan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mendahulukan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalam selainNya dari
semua jenis manusia dan mengedepankan contoh teladan Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang lainnya, dengan demikian mereka
dinamakan Ahlul Kitab dan Sunnah.“
Dinamakan Ahlul Jama‘ah karena Jama’ah bermakna berkumpul dan
lawannya berpecah belah walaupun kata jama’ah akhirnya menjadi untuk
satu kaum yang berkumpul ijma’ (konsensus) merupakan pokok ketiga yang
menjadi sandaran ilmu dan agama.
Mereka menimbang dengan ketiga pokok ini semua ucapan dan amalan
manusia baik lahir maupun batin dari hal-hal yang berhubungan dengan
agama. Ijma’ yang otentik adalah yang ada padanya As-Salaf Ash-Sholih, karena setelah mereka terjadi banyak perselisihan dan umat pun telah bertebaran.
Lalu beliaupun menjelaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah bahwa madzhab mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
telah ada sejak lama dan sudah dikenal sebelum Allah Subhanahu wa
Ta’ala menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad, karena dia
adalah madzhabnya para sahabat yang telah mengambilnya dari Nabi mereka,
dan siapa yang menyelisihi hal itu maka dianggap ahlil bid’ah menurut Ahlus Sunnah.
Kemudian beliau menjelaskan sebab penisbatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dengan berkata : “Dan Ahmad bin Hanbal
walaupun sudah terkenal sebab Imam Ahlus Sunnah dan
kesabarannya dalam ujian, tidaklah itu semua karena dia bersendirian
dalam pendapat tersebut atau mencetuskan satu pendapat yang baru akan
tetapi karena As-Sunnah sudah ada dan terkenal sebelumnya yang beliau
ketahui dan dakwahkan seta bersabar dalam ujian yang menimpanya serta
tidak menyempal darinya.”
Kedua : Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits.
Berkata Syaikhhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/129 : “Amma ba’du, inilah aqidah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
dan berkata dalam tempat yang lain 3/159 : “Dan jalan mereka adalah
agama Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus dengannya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkabarkan bahwa : Umatnya akan berpecah
belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di nereka kecuali
satu yaitu Al-Jama’ah dan dalam hadits yang lain beliau
bersabda : mereka adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku
ada sekarang, maka jadilah orang-orang yang berpegang teguh kepada
Islam yang murni dan bersih dari campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada pada mereka orang-orang Shiddiq, syuhada, dan orang-orang shalih
dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-tokoh Ulama dan pelita
umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada pada
mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelomok orang yang menegakkan
kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina sampai datangnya hari
kiamat”
Kita memohon kepada Allah yang Maha Agung untuk menjadikan kita
termasuk dari mereka dan untuk tidak menyesatkan hati-hati kita setelah
mendapat petunjuk serta menganugrahkan kita rahmat dariNya karena Dia
adalah Al-Wahaab (yang Maha Pemberi). Wallahu a’lam.
Dan berkata juga dalam 3/345 : Oleh karena itu Al-Firqatun Najiyah disifatkan sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka adalah mayoritas terbesar dan As-Sawadullah Al-A’zham.
Berkata lagi beliau 3/347 : “Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang paling berhak dijadikan sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah
yang tidak memiliki satu tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali
Rasulullah sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui
ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang
shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah
orang-orang yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut
dan paling mengikutinya secara keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi
loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas kepadanya dan
membenci orang yang membencinya, merekalah orang-orang yang
mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada
didalam Al-Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak
menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya termasuk pokok-pokok agama
dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang telah
dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pokok (sumber) yang mereka yakini dan sandari.
Ketiga : Antara Ahlus-Sunnah Wal Jamaah Dan Salafiyah
Banyak dari kalangan kelompok Ahlul Bid’ah dan golongan-golongan
sesat yang menggunakan nama Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah untuk menyimpangkan
orang-orang awam dari dari kaum muslimin dari fitrah mereka.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatwa 3/346:
“Banyak orang-orang menyebutkan tentang golongan-golongan ini dengan
hukum prasangka dan hawa nafsu lalu menjadikan kelompoknya dan orang
yang menisbatkan dirinya dan memberikan loyalitas kepada tokoh pemimpin
yang diikutinya adalah ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan menjadikan orang-orang yang menyelisihinya sebagai Ahlul Bid’ah, hal ini merupakan kesesatan yang nyata, karena ahlul Haq was-Sunnah Wal Jama’ah tidak punya panutan kecuali Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi wasalam “.
Sebagian mereka memasukan kelompok Asy’ariyah sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qahir bin Thoohir Al Baghdadiy wafat tahun 429 H dalam Al Farqu Bainal Firaq
hal.313, dalam perkataannya :”Ketahuilah semoga Allah subhanuhu Wa
Ta’ala memberikan kebahagian kepada kalian -Sesungguhnya ahlus-Sunnah
Wal Jama’ah ada delapan kelompok :
Sekelompok mereka memiliki ilmu tentang bab-bab pembahasan tauhid dan nubuwah, hukum-hukum Alwa’ wal Wa’id, pahala dan dosa, syarat-syarat ijtihad, keimamahan dan kepemimpinan dan mereka ini berjalan pada bidang dari ilmu ini jalannya saufatiyah (orang yang menetapkan sifat) dari kalangan ahlil kalam yang berlepas diri dari Tasybih dan Ta’thil dan dari kebida’han Rafidhoh, Khawarij, Jahmiyah dan An-Najariyah dan seluruh ahli hawa yang sesat.
Sebagian mutaakhirin menyangka bahwa umat Islam telah menyerahkan kepemimpinannya dalam masalah aqidah kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah, berkata Sa’id hawa dalam kitab Jaulatun Fil Fiqhaini
hal. 22, 66, 81 dan 90 : ” Dan umat ini telah menyerahkan permasalahan
i’tiqad kepada dua orang yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy dan Abu Manshur Al
Maturidiy” dan berkata Azzabidiy dalam kitab Ithaafis Saadatil Muttaqiin (2/6):” Jika disebutkan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang dimaksud adalah Asy’ariy dan Maturidiyah…”
Akhirnya istilah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah telah menjadi
longgar yang masuk padanya orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam
aqidah khususnya masalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh
karena itu sepatutnya menggunakan kata Salafiyah untuk menunjukan Al-Firqatun-Najiyah, Ath-Thoifah Al Manshurah, Al-Ghuraba dan Ahlil Hadits.
Sebagian Dai yang tetap terus menggunakan kata Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah
berkata : “Apa pendapatmu jika ada beberapa kaum lalu mengaku Salafiyah
sedang mereka dari kelompok-kelompok yang menyimpang, apakah kamu akan
meninggalkan kata Salafiyah dan menggantinya dengan yang lain ?”
Jawabannya dari beberapa sisi:
[a] Anggapan ini menghasilkan mata rantai yang tidak ada ujungnya. maka hal itu (adalah suatu perkara) bathil.
[b] Ini merupakan anggapan (hipotesa) pada permasalahan yang belum
terjadi lagi sedangkan para Salaf membenci pertanyaan tentang
perkara-perkara yang dianggap ada sedangkan belum ada, dan
masalah-masalah khayalan pemikiran.
[c] Klaim (pengakuan) kelompok-kelompok ini yang belum kita lihat dan
belum kita dengar terhadap manhaj Salaf merupakan benturan terhadap
pemikiran-pemikiran mereka karena manhaj Salaf mengharuskan pengikutnya
untuk mengikuti jalannya para sahabat, hal ini tampak jelas dengan
keterangan berikut :
[d] Semua kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Ahlus-sunnah wal Jama’ah tidak ada yang berani mengatakan : Saya Salafiy.
Kelompok-kelompok yang terkenal dengan kebidahannya tidak ada yang mengaku bermadzhab Salaf dan mengikuti ajarannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Faatwa 4/155 : ”
Yang dimaksud di sini bahwa kelompok-kelompok yang terkenal diantara Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang memiliki kebid’ahan sesungguhnya tidaklah mengikuti ajaran Salaf, apalagi kelompok ahlul bid’ah yang termasyhur yaitu Rafidah,
sampai-sampai orang awam tidak mengenal syiar kebid’ahan kecuali
Rafidhah, sedangkan sunniy dalam istilah mereka adalah orang yang tidak
syiah dan demikianlah karena mereka paling menyelisihi hadits-hadits
nabi dan makna Al-Qur’an dan yang paling mencela Salaf umat ini dan para
imamnya serta melecehkan mayoritas umat dari macam-macam kelompok,
sehingga ketika mereka semakin jauh dari mengikuti salaf maka yang
paling masyhur dalam kebid’ahan. Sehingga diketahui bahwa syiar ahlul bid’ah adalah tidak mengikuti ajaran mengikuti salaf, oleh karena itu berkata Imam Ahmad dalam Risalah Abdus bin Malik : “Ushul As-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang difahami para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian berkata lagi (4/156) : “Adapun (anggapan) ajaran salaf termasuk menjadi syi’ar Ahlul Bid’ah maka itu satu kebatilan karena hal itu tidak mungkin kecuali ketika kebodohan meraja lela dan ilmu sedikit”.
Oleh karena itu kita berbahagia dari balik keterus terangan ini sebagai langkah awal kepada dakwah Salafiyah yang tegak diatas Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih
untuk memasukkan kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada imam
yang empat dalam fiqih (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad
(pent)) kedalam ruang lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah…Sedangkan yang tersembunyi biarlah sembunyi.
Kalau ada yang mengatakan : “Ini tidak terbesit dalam pikiran kami,
sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan kita”.
Saya jawab : Alangkah pasnya ucapan penyair.
Jika kamu tidak tahu maka itu satu musibah
Atau kamu tahu maka musibahnya lebih besar.
Kesimpulan dari bab ini adalah
- Harus diakui bahwa ummat ini telah berpecah belah menjadi
banyak golongan, dimana sebagian besar menyimpang dan hanya satu
yang akan selamat.
- Satu golongan yang selamat (Firqotun Najiyah) itu adalah mereka
yang selalu mengikuti jalan para salaful Ummah yang mendapat
petunjuk dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalil-Dalil Kewajiban Mengikuti Jejak Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya
Mengikuti manhaj/jalan Salafush Shalih (yaitu para Shahabat) adalah
kewajiban bagi setiap individu Muslim. Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. DALIL-DALIL DARI AL-QUR-AN
Allah berfirman:
“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan
kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang
Mahamendengar lagi Maha-mengetahui.” [Al-Baqarah: 137]
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah (wafat tahun 751 H)
berkata: “Pada ayat ini Allah menjadikan iman para Shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolak ukur) untuk
membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenaran dan
kebatilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya
para Shahabat, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang
mutlak dan sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak
beriman), sebagaimana imannya para Shahabat, maka mereka jatuh ke dalam
perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh…”
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman
adalah sebesar-besar kewajiban, menjauhkan perselisihan dan kesesatan
adalah wajib. Jadi, mengikuti jalan hidup (manhaj) Shahabat Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling wajib.” [1]
[1]. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 53), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
Firman Allah yang lain:
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.”
[Al-An’aam: 153]
Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu bahwa jalan (kebenaran) itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya
–yaitu jalan-jalan yang menyimpang dari kebenaran- adalah jalan
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan
yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim
menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah ‘Azza
wa Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang
kepada Allah hanya SATU…
Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada
Allah, kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]
[2]. Tafsir al-Qayyim oleh Ibnul Qayyim (hal. 14-15).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahan-nam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai
sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam
dengan ma-suk Neraka Jahannam.
Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip dalam Islam yang
mempunyai konsekuensi wajibnya ummat Islam untuk mengikuti jalannya kaum
mukminin dan jalannya kaum Mukminin adalah perkataan dan perbuatan para
Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’iin. Karena, ketika turunnya wahyu
tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat, sebagaimana firman
Allah jalla wa’ala:
“Artinya : Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan
kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beri-man.”
[Al-Baqarah: 285]
Orang Mukmin ketika itu hanyalah para Shahabat radhiyallahu
‘anhum tidak ada yang lain. Ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti
jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan
menyalahinya adalah kesesesatan. [3]
[3]. Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka
ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang
mengalir sungai-sungai di dalam-nya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah keme-angan yang besar.” [At-Taubah: 100]
Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Jalla wa ’Ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin.
Kalau mereka tidak mau mengikuti, maka mereka akan mendapatkan hukuman
dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus
diperhatikan. [4]
[4]. Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, hal. 43, 53-54.
“Artinya : Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah…” [Ali Imraan: 110]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Jalla wa ’Ala telah menetapkan
keutamaan atas sekalian ummat-ummat yang ada dan hal ini menunjukkan
keistiqamahan para Shahabat dalam setiap keadaan, karena mereka tidak
menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Jalla wa
’Ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kema’rufan
(kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan
dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas
orang-orang setelah mereka, sampai Allah Jalla wa ’Ala mewariskan bumi
dan seisinya.[5]
[5]. Lihat Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
B. DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis
dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu
beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini
adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari
jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru
kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Jalla wa ’Ala: ‘Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu
diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153]
[1]
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68),
al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawy (no. 97),
di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no.
17), Tafsir an-Nasaa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun)
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa
para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya.
Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari
mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [2]
[2]. Muttafaq ‘alaih, al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan
Muslim (no. 2533 (211)) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan
oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah (I/12), al-Munawy dalam
Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab
Nadhmul Mutanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy
(hal. 87).
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
tentang kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta
keutamaannya. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang
‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya, dan lain-lainnya. Oleh
karena itu, mereka dikatakan sebaik-baik manusia [3]. Dan dalam riwayat
lain disebutkan dengan kata “khaiyrukum” (sebaik-baik kalian) dan dalam
riwayat yang lain disebutkan “khaiyru ummatiy” (sebaik-baik ummatku.’)
[3]. Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
Kata Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Artinya : Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hambaNya dan Allah
mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai utusanNya. Allah memberikan risalah kepadanya,
kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para
Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan
mereka sebagai pendamping NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mereka berperang atas agamaNya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para
Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang
mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah”
[4]
[4]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178).
Dan dalam hadits lain pun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti
manhaj Salafush Shalih (para Shahabat), yaitu hadits yang terkenal
dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah no. 28:
Artinya : “Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu [5]:
‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan
nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang
dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah,
nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka
berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada
Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah
seorang budak Habasiyyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara
kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka
wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan
jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya
setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat.’” [6]
[5]. Perawi hadits adalah Irbadh bin Sariyah Abu Najih as-Salimi,
beliau termasuk ahli Suffah, tinggal di Himsha setelah penaklukan
Makkah, tentang wafatnya ahli sejarah berbeda pendapat, ada yang
mengatakan tatkala peristiwa Ibnu Zubair, adapula yang mengatakan tahun
75 H. Lihat al-Ishabah (II/473 no. 5501).
[6]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi
(no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah
(I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan
terjadinya perpecahan dan perselisihan pada ummat-nya, kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mem-berikan jalan keluar untuk
selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan sunnah
para Shahabatnya ridhwanullaahu ‘alaihim jami’an. Hal ini menunjukkan
tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an.
Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya
ummat ini menjadi 73 golongan):
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari
ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan
sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh
tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan
satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [7]
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128),
ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa’iy dalam
as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh
Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh
al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204).
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Artinya : Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu
(yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.” [8]
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin Amr, dan
di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’ (no. 5343).
Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘Alaihi wa Ash-habii oleh Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilaaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H, sebagaimana juga
telah saya terangkan panjang lebar mengenai hadits Iftiraqul Ummah
sebelum ini, walhamdulillah.
Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa ummat Islam akan
terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan yaitu
yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an. Jadi jalan
selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut
pemahaman Salafus Shalih (para Shahabat).
Hadits di atas menunjukkan bahwa, setiap orang yang mengikuti Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya adalah termasuk ke
dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Sedangkan yang
menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka mereka adalah golongan
yang binasa dan akan mendapat ancaman de-ngan masuk ke dalam Neraka.
http://ghulamzuhri.wordpress.com/category/bab-ii-manhaj/
0 comments:
Post a Comment