Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A. hafidzahullah*
Adapun alasan-alasan yang di kemukakan oleh kebanyakan orang yang
melakukan KB, seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezeki atau kesulitan
mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat bertentangan
dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “…Kalau yang menjadi
pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran akan
kurangnya rezeki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezeki bagi mereka…
Allah berfirman:
وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus)
rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-’Ankabuut: 60)
Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya
mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa
banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan
(orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa
banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk
dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang menentukan
(keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan
(taufik) dari Allah ta’ala. Jika seorang hamba bertakwa kepada
Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan
syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik
anak),
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4) (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14).
Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk tindakan
menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh anak-anak
mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman sekarang
mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun orang-orang di jaman
Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah lahir karena takut
miskin. (Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/19), dan syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 65)).
Allah ta’ala berfirman:
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خِطْأ كبيراً
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Qs. al-Israa’: 31)
Dan masih banyak alasan-alasan lain yang di kemukakan khususnya oleh
para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan untuk
membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu
disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang
dipimpin oleh imam syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh. (Lihat Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/115-125)).
Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang
jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan
kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu,
(upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan
dengan cara apapun akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik
dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani. (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah, (5/127), dengan sedikit penyesuaian)
Perbedaan antara membatasi (jumlah) keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya
Setelah kita mengetahui bahwa hukum asal Keluarga Berencana adalah
diharamkan karena sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam keadaan
darurat dan dengan alasan yang benar menurut syariat, maka dalam hal ini
para ulama membedakan antara membatasi keturunan dan mencegah kehamilan
atau mengaturnya, sebagai berikut:
Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran
(secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu, dengan
menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan.
Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan dengan
menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan. (Fatwa Haiati
Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).
Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam agama Islam
diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah yang
dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah, (9/62) no (1584)), demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin (Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al Fiqhil Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di atas.
Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan
sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan (pencegah
kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami
istri ketika masa subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul
‘Ulama’ (5/114 – Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).
Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka ada seorang
ulama ahli fikih pun yang menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi
obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan)
dalam syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu menanggung
kehamilan (karena penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia hamil akan
membahayakan kelangsungan hidupnya. Maka dalam kondisi seperti ini dia
(boleh) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak
(mampu) menanggung kehamilan, karena kehamilan (dikhawatirkan) akan
membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi seperti ini boleh mengonsumsi
obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat (terpaksa)… Adapun
mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada sebab (yang
dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh (diharamkan), karena
kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang) diperintahkan dalam Islam
(untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin). Maka jika mengonsumsi
obat-obatan pencegah kehamilan itu (bertujuan untuk) menghindari
(banyaknya) anak dan karena (ingin) membatasi (jumlah) keturunan,
sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh Islam, maka ini diharamkan
(dalam Islam), dan tidak ada seorang pun dari ulama ahli fikih yang
diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli kedokteran mungkin
saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum
syariat Islam (al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25)).
Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua itu, maka membatasi
(jumlah keturunan) diharamkan secara mutlak (dalam Islam), (demikian
juga) mencegah kehamilan diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi
tertentu yang jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi
yang mengharuskan wanita yang hamil untuk melahirkan secara tidak wajar,
dan kondisi yang memaksa wanita yang hamil melakukan operasi (caesar)
untuk mengeluarkan bayi (dari kandungannya), atau kondisi yang jika
seorang wanita hamil maka akan membahayakannya karena adanya penyakit
atau (sebab) lainnya. Ini semua dikecualikan dalam rangka untuk
menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga kelangsungan hidup (bagi
wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat Islam datang untuk
mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kerusakan… (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/127)).
Mengatur kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana untuk
mencegah kehamilan, tapi bukan dengan tujuan untuk menjadikan mandul
atau mematikan fungsi alat reproduksi, tetapi tujuannya mencegah
kehamilan dalam jangka waktu tertentu (bukan selamanya), karena
adanya maslahat (kebutuhan yang dibenarkan dalam syariat) yang dipandang
oleh kedua suami istri atau seorang ahli (dokter) yang mereka percaya
(Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114) Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/15)).
Mengatur kehamilan seperti ini -sebagaimana yang dijelaskan oleh
Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh dilakukan dengan dua syarat:
1). Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika
istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap tahun,
atau (kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit
lain yang membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.
2). Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur kehamilan), karena
suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak) keturunan (Al Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “…Demikian pula (diperbolehkan)
mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya penunda
kehamilan, untuk jangka waktu tertentu (bukan seterusnya), karena adanya
suatu sebab (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri dalam
kondisi sakit, atau kelahiran yang banyak berturut-turut yang membuat
istri tidak mampu memberi makanan (ASI) yang cukup untuk bayinya, maka
dia (boleh) mengonsumsi obat penunda kehamilan, supaya dia bisa
berkonsentrasi (untuk mempersiapkan diri) menyambut kehamilan yang baru
setelah selesai dari hamil yang pertama, maka dalam kondisi (seperti)
ini diperbolehkan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/24-25)).
Dalam fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Bin Baz: “…Adapun
mengatur keturunan yaitu (dengan) menunda kehamilan karena alasan yang
benar (sesuai syariat), seperti (kondisi) istri yang lemah (sehingga)
tidak mampu (menanggung) kehamilan, atau kebutuhan untuk menyusui bayi
yang sudah lahir, maka ini diperbolehkan untuk kebutuhan tersebut (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/428) no (16013)).
Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah, payah dan sakit
pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah
lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita
hamil dan melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam
fatwa Lajnah Daimah (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)). Karena semua wanita yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah,
Allah berfirman:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs. al-Ahqaaf: 15).
Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil
Setelah kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan penggunaan obat
pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang dibenarkan
dalam syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan beberapa
hal berikut:
1)
Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti hamil hendaknya
berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya,
sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya
adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan
karena tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka
yang dengan mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena
ketidakpahaman terhadap hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan
syaikh Shaleh al-Fauzan di atas. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu dalam
Khataru Tahdiidin Nasl (8/16) Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan Majelis al Majma’ al Fiqhil Islami dalam
Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286))
2) Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan kesehatan, atau
minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan (Lihat
keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal Muhimmah (1/160) dan kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil Mu’aashirah (28/6)).
3- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika
memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan
dan dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena
aurat besar wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya
(Lihat Tafsir al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (10/175)),
adapun selain suaminya hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat
darurat (terpaksa) dan untuk keperluan pengobatan (Lihat kitab an-Nazhar Fi Ahkamin Nazhar (hal. 176) tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab Ahkaamul ‘Auraat Linnisaa’ (hal. 85)). Berdasarkan keumuman makna firman Allah ta’ala:
والذين هم لفروجهم حافظون، إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين
“…Dan mereka (orang-orang yang beriman) adalah orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Qs. al-Mu’minuun: 5-6)
Penutup
Inilah keterangan yang dapat kami sampaikan tentang hukum KB, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta penjelasan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi kita dan bagi semua orang yang membaca dan
merenungkannya. Dan semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan
petunjuk-Nya kepada kaum muslimin agar mereka selalu kembali kepada
petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan mereka.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 4 Jumadal Uula 1430 H
***
* Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
hafidzahullah*
hafidzahullah merupakan salah satu penasehat
Majalah Kesehatan Muslim. Beliau adalah salah satu alumni Universitas Islam Madinah Saudi Arabia.
Sumber: http://kesehatanmuslim.com/kb-islami/
0 comments:
Post a Comment