Pembicaraan Tentang Hal Ini Ditinjau Dari Beberapa Sisi :
Pertama : Sebab Penamaan Ini.
Syaikhul Islam di Majmu’ Fatawa 3/157 dalam menjelaskan hal ini : “Kemudian termasuk jalannya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin dan mengikuti jalnnya As-Sabiqunal Awalun
(orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan kaum muhajirin dan
Anshor serta mengikuti wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika bersabda.
“Artinya : Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah
para Khalifah Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah
kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian. Dan waspadalah
terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) karena hal itu
adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”
Dan mereka mengetahui bahwa
sebenar-benarnya kalam adalah kalamullah dan sebaik-baiknya contoh
teladan adalah contoh teladan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mendahulukan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalam selainNya dari
semua jenis manusia dan mengedepankan contoh teladan Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang lainnya, dengan demikian mereka
dinamakan Ahlul Kitab dan Sunnah.“
Dinamakan Ahlul Jama‘ah karena Jama’ah bermakna berkumpul dan
lawannya berpecah belah walaupun kata jama’ah akhirnya menjadi untuk
satu kaum yang berkumpul ijma’ (konsensus) merupakan pokok ketiga yang
menjadi sandaran ilmu dan agama.
Mereka menimbang dengan ketiga pokok ini semua ucapan dan amalan
manusia baik lahir maupun batin dari hal-hal yang berhubungan dengan
agama. Ijma’ yang otentik adalah yang ada padanya As-Salaf Ash-Sholih, karena setelah mereka terjadi banyak perselisihan dan umat pun telah bertebaran.
Lalu beliaupun menjelaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah bahwa madzhab mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
telah ada sejak lama dan sudah dikenal sebelum Allah Subhanahu wa
Ta’ala menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad, karena dia
adalah madzhabnya para sahabat yang telah mengambilnya dari Nabi mereka,
dan siapa yang menyelisihi hal itu maka dianggap ahlil bid’ah menurut Ahlus Sunnah.
Kemudian beliau menjelaskan sebab penisbatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dengan berkata : “Dan Ahmad bin Hanbal
walaupun sudah terkenal sebab Imam Ahlus Sunnah dan
kesabarannya dalam ujian, tidaklah itu semua karena dia bersendirian
dalam pendapat tersebut atau mencetuskan satu pendapat yang baru akan
tetapi karena As-Sunnah sudah ada dan terkenal sebelumnya yang beliau
ketahui dan dakwahkan seta bersabar dalam ujian yang menimpanya serta
tidak menyempal darinya.”
Kedua : Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits.
Berkata Syaikhhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/129 : “Amma ba’du, inilah aqidah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
dan berkata dalam tempat yang lain 3/159 : “Dan jalan mereka adalah
agama Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus dengannya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkabarkan bahwa : Umatnya akan berpecah
belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di nereka kecuali
satu yaitu Al-Jama’ah dan dalam hadits yang lain beliau
bersabda : mereka adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku
ada sekarang, maka jadilah orang-orang yang berpegang teguh kepada
Islam yang murni dan bersih dari campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada pada mereka orang-orang Shiddiq, syuhada, dan orang-orang shalih
dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-tokoh Ulama dan pelita
umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada pada
mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelomok orang yang menegakkan
kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina sampai datangnya hari
kiamat”
Kita memohon kepada Allah yang Maha Agung untuk menjadikan kita
termasuk dari mereka dan untuk tidak menyesatkan hati-hati kita setelah
mendapat petunjuk serta menganugrahkan kita rahmat dariNya karena Dia
adalah Al-Wahaab (yang Maha Pemberi). Wallahu a’lam.
Dan berkata juga dalam 3/345 : Oleh karena itu Al-Firqatun Najiyah disifatkan sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka adalah mayoritas terbesar dan As-Sawadullah Al-A’zham.
Berkata lagi beliau 3/347 : “Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang paling berhak dijadikan sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah
yang tidak memiliki satu tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali
Rasulullah sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui
ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang
shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah
orang-orang yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut
dan paling mengikutinya secara keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi
loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas kepadanya dan
membenci orang yang membencinya, merekalah orang-orang yang
mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada
didalam Al-Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak
menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya termasuk pokok-pokok agama
dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang telah
dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pokok (sumber) yang mereka yakini dan sandari.
Ketiga : Antara Ahlus-Sunnah Wal Jamaah Dan Salafiyah
Banyak dari kalangan kelompok Ahlul Bid’ah dan golongan-golongan
sesat yang menggunakan nama Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah untuk menyimpangkan
orang-orang awam dari dari kaum muslimin dari fitrah mereka.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatwa 3/346:
“Banyak orang-orang menyebutkan tentang golongan-golongan ini dengan
hukum prasangka dan hawa nafsu lalu menjadikan kelompoknya dan orang
yang menisbatkan dirinya dan memberikan loyalitas kepada tokoh pemimpin
yang diikutinya adalah ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan menjadikan orang-orang yang menyelisihinya sebagai Ahlul Bid’ah, hal ini merupakan kesesatan yang nyata, karena ahlul Haq was-Sunnah Wal Jama’ah tidak punya panutan kecuali Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi wasalam “.
Sebagian mereka memasukan kelompok Asy’ariyah sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qahir bin Thoohir Al Baghdadiy wafat tahun 429 H dalam Al Farqu Bainal Firaq
hal.313, dalam perkataannya :”Ketahuilah semoga Allah subhanuhu Wa
Ta’ala memberikan kebahagian kepada kalian -Sesungguhnya ahlus-Sunnah
Wal Jama’ah ada delapan kelompok :
Sekelompok mereka memiliki ilmu tentang bab-bab pembahasan tauhid dan nubuwah, hukum-hukum Alwa’ wal Wa’id, pahala dan dosa, syarat-syarat ijtihad, keimamahan dan kepemimpinan dan mereka ini berjalan pada bidang dari ilmu ini jalannya saufatiyah (orang yang menetapkan sifat) dari kalangan ahlil kalam yang berlepas diri dari Tasybih dan Ta’thil dan dari kebida’han Rafidhoh, Khawarij, Jahmiyah dan An-Najariyah dan seluruh ahli hawa yang sesat.
Sebagian mutaakhirin menyangka bahwa umat Islam telah menyerahkan kepemimpinannya dalam masalah aqidah kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah, berkata Sa’id hawa dalam kitab Jaulatun Fil Fiqhaini
hal. 22, 66, 81 dan 90 : ” Dan umat ini telah menyerahkan permasalahan
i’tiqad kepada dua orang yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy dan Abu Manshur Al
Maturidiy” dan berkata Azzabidiy dalam kitab Ithaafis Saadatil Muttaqiin (2/6):” Jika disebutkan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang dimaksud adalah Asy’ariy dan Maturidiyah…”
Akhirnya istilah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah telah menjadi
longgar yang masuk padanya orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam
aqidah khususnya masalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh
karena itu sepatutnya menggunakan kata Salafiyah untuk menunjukan Al-Firqatun-Najiyah, Ath-Thoifah Al Manshurah, Al-Ghuraba dan Ahlil Hadits.
Sebagian Dai yang tetap terus menggunakan kata Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah
berkata : “Apa pendapatmu jika ada beberapa kaum lalu mengaku Salafiyah
sedang mereka dari kelompok-kelompok yang menyimpang, apakah kamu akan
meninggalkan kata Salafiyah dan menggantinya dengan yang lain ?”
Jawabannya dari beberapa sisi:
[a] Anggapan ini menghasilkan mata rantai yang tidak ada ujungnya. maka hal itu (adalah suatu perkara) bathil.
[b] Ini merupakan anggapan (hipotesa) pada permasalahan yang belum
terjadi lagi sedangkan para Salaf membenci pertanyaan tentang
perkara-perkara yang dianggap ada sedangkan belum ada, dan
masalah-masalah khayalan pemikiran.
[c] Klaim (pengakuan) kelompok-kelompok ini yang belum kita lihat dan
belum kita dengar terhadap manhaj Salaf merupakan benturan terhadap
pemikiran-pemikiran mereka karena manhaj Salaf mengharuskan pengikutnya
untuk mengikuti jalannya para sahabat, hal ini tampak jelas dengan
keterangan berikut :
[d] Semua kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Ahlus-sunnah wal Jama’ah tidak ada yang berani mengatakan : Saya Salafiy.
Kelompok-kelompok yang terkenal dengan kebidahannya tidak ada yang mengaku bermadzhab Salaf dan mengikuti ajarannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Faatwa 4/155 : ”
Yang dimaksud di sini bahwa kelompok-kelompok yang terkenal diantara Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang memiliki kebid’ahan sesungguhnya tidaklah mengikuti ajaran Salaf, apalagi kelompok ahlul bid’ah yang termasyhur yaitu Rafidah,
sampai-sampai orang awam tidak mengenal syiar kebid’ahan kecuali
Rafidhah, sedangkan sunniy dalam istilah mereka adalah orang yang tidak
syiah dan demikianlah karena mereka paling menyelisihi hadits-hadits
nabi dan makna Al-Qur’an dan yang paling mencela Salaf umat ini dan para
imamnya serta melecehkan mayoritas umat dari macam-macam kelompok,
sehingga ketika mereka semakin jauh dari mengikuti salaf maka yang
paling masyhur dalam kebid’ahan. Sehingga diketahui bahwa syiar ahlul bid’ah adalah tidak mengikuti ajaran mengikuti salaf, oleh karena itu berkata Imam Ahmad dalam Risalah Abdus bin Malik : “Ushul As-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang difahami para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian berkata lagi (4/156) : “Adapun (anggapan) ajaran salaf termasuk menjadi syi’ar Ahlul Bid’ah maka itu satu kebatilan karena hal itu tidak mungkin kecuali ketika kebodohan meraja lela dan ilmu sedikit”.
Oleh karena itu kita berbahagia dari balik keterus terangan ini sebagai langkah awal kepada dakwah Salafiyah yang tegak diatas Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih
untuk memasukkan kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada imam
yang empat dalam fiqih (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad
(pent)) kedalam ruang lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah…Sedangkan yang tersembunyi biarlah sembunyi.
Kalau ada yang mengatakan : “Ini tidak terbesit dalam pikiran kami,
sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan kita”.
Saya jawab : Alangkah pasnya ucapan penyair.
Jika kamu tidak tahu maka itu satu musibah
Atau kamu tahu maka musibahnya lebih besar.
Kesimpulan dari bab ini adalah
- Harus diakui bahwa ummat ini telah berpecah belah menjadi
banyak golongan, dimana sebagian besar menyimpang dan hanya satu
yang akan selamat.
- Satu golongan yang selamat (Firqotun Najiyah) itu adalah mereka
yang selalu mengikuti jalan para salaful Ummah yang mendapat
petunjuk dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalil-Dalil Kewajiban Mengikuti Jejak Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya
Mengikuti manhaj/jalan Salafush Shalih (yaitu para Shahabat) adalah
kewajiban bagi setiap individu Muslim. Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. DALIL-DALIL DARI AL-QUR-AN
Allah berfirman:
“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan
kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang
Mahamendengar lagi Maha-mengetahui.” [Al-Baqarah: 137]
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah (wafat tahun 751 H)
berkata: “Pada ayat ini Allah menjadikan iman para Shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolak ukur) untuk
membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenaran dan
kebatilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya
para Shahabat, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang
mutlak dan sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak
beriman), sebagaimana imannya para Shahabat, maka mereka jatuh ke dalam
perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh…”
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman
adalah sebesar-besar kewajiban, menjauhkan perselisihan dan kesesatan
adalah wajib. Jadi, mengikuti jalan hidup (manhaj) Shahabat Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling wajib.” [1]
[1]. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 53), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
Firman Allah yang lain:
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.”
[Al-An’aam: 153]
Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu bahwa jalan (kebenaran) itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya
–yaitu jalan-jalan yang menyimpang dari kebenaran- adalah jalan
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan
yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim
menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah ‘Azza
wa Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang
kepada Allah hanya SATU…
Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada
Allah, kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]
[2]. Tafsir al-Qayyim oleh Ibnul Qayyim (hal. 14-15).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahan-nam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai
sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam
dengan ma-suk Neraka Jahannam.
Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip dalam Islam yang
mempunyai konsekuensi wajibnya ummat Islam untuk mengikuti jalannya kaum
mukminin dan jalannya kaum Mukminin adalah perkataan dan perbuatan para
Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’iin. Karena, ketika turunnya wahyu
tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat, sebagaimana firman
Allah jalla wa’ala:
“Artinya : Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan
kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beri-man.”
[Al-Baqarah: 285]
Orang Mukmin ketika itu hanyalah para Shahabat radhiyallahu
‘anhum tidak ada yang lain. Ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti
jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan
menyalahinya adalah kesesesatan. [3]
[3]. Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka
ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang
mengalir sungai-sungai di dalam-nya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah keme-angan yang besar.” [At-Taubah: 100]
Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Jalla wa ’Ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin.
Kalau mereka tidak mau mengikuti, maka mereka akan mendapatkan hukuman
dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus
diperhatikan. [4]
[4]. Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, hal. 43, 53-54.
“Artinya : Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah…” [Ali Imraan: 110]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Jalla wa ’Ala telah menetapkan
keutamaan atas sekalian ummat-ummat yang ada dan hal ini menunjukkan
keistiqamahan para Shahabat dalam setiap keadaan, karena mereka tidak
menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Jalla wa
’Ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kema’rufan
(kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan
dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas
orang-orang setelah mereka, sampai Allah Jalla wa ’Ala mewariskan bumi
dan seisinya.[5]
[5]. Lihat Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
B. DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis
dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu
beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini
adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari
jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru
kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Jalla wa ’Ala: ‘Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu
diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153]
[1]
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68),
al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawy (no. 97),
di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no.
17), Tafsir an-Nasaa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun)
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa
para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya.
Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari
mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [2]
[2]. Muttafaq ‘alaih, al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan
Muslim (no. 2533 (211)) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan
oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah (I/12), al-Munawy dalam
Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab
Nadhmul Mutanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy
(hal. 87).
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
tentang kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta
keutamaannya. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang
‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya, dan lain-lainnya. Oleh
karena itu, mereka dikatakan sebaik-baik manusia [3]. Dan dalam riwayat
lain disebutkan dengan kata “khaiyrukum” (sebaik-baik kalian) dan dalam
riwayat yang lain disebutkan “khaiyru ummatiy” (sebaik-baik ummatku.’)
[3]. Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
Kata Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Artinya : Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hambaNya dan Allah
mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai utusanNya. Allah memberikan risalah kepadanya,
kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para
Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan
mereka sebagai pendamping NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mereka berperang atas agamaNya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para
Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang
mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah”
[4]
[4]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178).
Dan dalam hadits lain pun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti
manhaj Salafush Shalih (para Shahabat), yaitu hadits yang terkenal
dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah no. 28:
Artinya : “Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu [5]:
‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan
nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang
dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah,
nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka
berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada
Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah
seorang budak Habasiyyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara
kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka
wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan
jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya
setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat.’” [6]
[5]. Perawi hadits adalah Irbadh bin Sariyah Abu Najih as-Salimi,
beliau termasuk ahli Suffah, tinggal di Himsha setelah penaklukan
Makkah, tentang wafatnya ahli sejarah berbeda pendapat, ada yang
mengatakan tatkala peristiwa Ibnu Zubair, adapula yang mengatakan tahun
75 H. Lihat al-Ishabah (II/473 no. 5501).
[6]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi
(no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah
(I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan
terjadinya perpecahan dan perselisihan pada ummat-nya, kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mem-berikan jalan keluar untuk
selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan sunnah
para Shahabatnya ridhwanullaahu ‘alaihim jami’an. Hal ini menunjukkan
tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an.
Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya
ummat ini menjadi 73 golongan):
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari
ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan
sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh
tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan
satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [7]
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128),
ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa’iy dalam
as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh
Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh
al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204).
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Artinya : Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu
(yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.” [8]
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin Amr, dan
di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’ (no. 5343).
Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘Alaihi wa Ash-habii oleh Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilaaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H, sebagaimana juga
telah saya terangkan panjang lebar mengenai hadits Iftiraqul Ummah
sebelum ini, walhamdulillah.
Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa ummat Islam akan
terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan yaitu
yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an. Jadi jalan
selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut
pemahaman Salafus Shalih (para Shahabat).
Hadits di atas menunjukkan bahwa, setiap orang yang mengikuti Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya adalah termasuk ke
dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Sedangkan yang
menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka mereka adalah golongan
yang binasa dan akan mendapat ancaman de-ngan masuk ke dalam Neraka.
http://ghulamzuhri.wordpress.com/category/bab-ii-manhaj/
0 comments:
Post a Comment