Monday, July 29, 2013
SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
Shalat jama’
maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti
melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu
dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan
Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan
di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat
yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh.
Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan
shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya
meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat
Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak
bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah , sebagaimana firman-Nya, ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah yang disuruh oleh Rasulullah untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Shalat Jama’
lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’
shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga
dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir
yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam
keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits
Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya
Rasulullah
menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di
Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan
musafir”.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215,
dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan
menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang
sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai
tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin,
Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu
Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’
shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para
sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir.
Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi.
Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang
membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas
jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama.
Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat
adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut
kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau
ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir
baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir
mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar
shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas
menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).
Seorang yang
menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya
begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya
dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat
diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini
lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan.
Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama
ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun
demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika
ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk.
Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar
shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah.
Menurut Jumhur
(mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama
musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar
shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh
mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan
menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum
menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa
kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan
oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai
sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari
beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena
ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami
ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan
mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang
melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat
kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir
tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat
kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat
Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh
saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar.
Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal
karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah .
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim
(tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang
muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus
mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak
mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya
salam.
Dan sunah bagi
musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah
dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena
Rasulullah
selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu
juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul
Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Wallahu a’lam bis Shawaab
Referensi :
Fatawa As-Sholat, Syeikh Abd. Aziz bin Baz
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abd. Adhim bin Badawi Al-Khalafi
http://abusalma.wordpress.com/2006/12/04/shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment