Siapakah sebenarnya Mutazilah ?
mereka adalah kelompok ahli kalam ( filsafat –red) yang muncul di tengah umat Islam pada permulaan abad ke 2 waktu antara 105-110 H di kota Basrah, (sekarang bagian dari Iraq-red). Mereka menempuh manhaj dan jalan yang dibangun diatas akal yang menyimpang dalam membahas masalah-maslah aqidah Islam. Mereka adalah pengikut Washil bin Atha’ Al Ghazal yang diusir dari majelis Imam Hasan Al Basri -rahimahullah- karena pernyataannya bahwa pelaku dosa besar berada pada posisi diantara dua kedudukan (manzilah baina manzilatain). lalu dia memisahkan diri (setelah diusir) di salah satu sudut masjid Bashrah, diikuti oleh orang yang setuju/sependapat dengan pemikirannya. Maka disebutlah mereka sebagai Mu’tazilah karena memisahkan diri (I’tazala) dari majelis Imam Hasan Al Basri -rahimahullah- , bahkan dari seluruh umat Islam. Dan dinamakan demikian juga karena pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar telah memisahkan (I’tizala) dari kelompok orang-orang mukmin dan orang-orang kafir ( tidak mukmin, tidak pula kafir, namun diantara keduanya).
Kemudian pernyataan tentang pelaku dosa besar itu berkembang dengan masuknya pemikiran-pemikiran lain sehingga terkumpul menjadi prinsip-prinsip mu’tazilah. Seiring dengan kemunculan tokoh-tokoh mereka dari masa ke masa sambil mengusung pemikiran masing-masing, maka jadilah kelompok mu’tazilah ini mengakar di tubuh Umat Islam, dengan berbagai pemikiran yang mereka ‘comot’ dari kelompok-kelompok menyimpang lainnya , diantaranya :
a Masalah Taqdir
Pemikiran mereka : manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri, terlepas ( tidak ada kaitannya ) dengan ketetapan/taqdir Alloh Azza wa Jalla .
Pemahaman ini mereka ambil dari Firqoh Qodariyah, sehingga dikenallah mu’ tazilah sebagai kelompok/firqoh Qodariyah dalam masalah pengingkaran terhadap taqdir Alloh Azza wa Jalla .
b. Masalah Asma dan Sifat Alloh Azza wa Jalla
Pemikiran mereka : Menolak terhadap sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk
Pemahaman ini mereka comot/ambil dari pemikiran firqoh Jahmiyah (pengikut Jahm bin Shafwan), sehingga daalam masalah asma dan sifat Alloh Azza wa Jalla Mu’tazilah sependapat dengan pemikiran Jahmiyyah, juga mereka mengingkari bahwa setiap muslim kelak akan melihat Rabb-nya di akhirat dengan mata mereka.
c. Masalah terhadap pemerintahan dan masalah kepemimpinan
Pemikiran mereka : Amar ma’ruf terhadap pemerintahyang mereka maksud yaitu wajib memberontak kepada pemerintah muslim yang dzalim terhadap rakyatnya), pemikiran ini mereka ambil dari aqidah Khawarij.
Pemikiran mereka dalam masalah imamah/kepemimpinan : Wajib adanya imam atau khilafah pada setiap masapemikiran ini meraka ambil dari firqoh syi’ah.
Muncul dan berkembangnya pemikiran Mu’tazilah didukung oleh banyak faktor, diantaranya :
- adanya beberapa fenomena seputar aqidah di tengah kaum muslimin, sehingga memberikan peluang munculnya kelompok ini. hal tersebut muncul akibat mereka mengandalkan pendapat akal daripada Al Qur’an dan Sunnah Shahih dalam mencari solusi bagi fenomena yang ada, sebagaimana dilakukan kelompok sesat lainya.
- Pembelaan sebagian bani Abbas terhadap mereka, khusunya Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
- Masuknya pemikiran filsafat Yunani kedalam Islam
- Pengaruh dari agama lainnya seperti yahudi, Nashoro bahkan dari kaum musyrikin.
- Akibat pendalaman mereka terhadap filsafat, kelompok ini dikenal dengan suka mendebat ketika berhadapan dengan kelompok sesat lainnya seperti rafisdhah, Zanadiqoh dan lainnya.
Pada asalnya mereka adalah satu, namun kemudian dalam perkembangannya firqoh ini berpecah menjadi 22 sekte, yang masing-masing bersepakat dalam sebagian pemikiran dan berbeda dalam sebagian lainnya, namun intinya sama yakni mendahulukan akal daripada Al Qur’an dan Sunnah Ash Shahihah.
Lima Prinsip yang menjadi landasan Firqoh Mutazilah dan bantahannya
Ada lima prinsip yang menjadi landasan utama dan disepakati kelompok-kelompok Mutazilah, yaitu :
Maksud tauhid menurut mereka adalah : Menolak sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla .
Apa saja yang berkaitan dengan nama-nama Alloh Azza wa Jalla maka mereka kembalikan kepada dzat-Nya (yaitu bahwa nama-nama Alloh Azza wa Jalla tersebut hanyalah simbol belaka bagi Alloh Azza wa Jalla ), nama Alloh Azza wa Jalla tidak mengandung makna berupa sifat-sifatNya, diantara perkataan mereka :
Alloh Azza wa Jalla memiliki nama ‘Aliimun (berilmu) tetapi tidak memiliki (sifat) ilmu, Qodiirun (maha kuasa) namun tidak memiliki sifat qudrat (penguasaan), hayyun (Maha Hidup) namun tidak memiliki sifat hayaat (kehidupan); Samiiun (Maha Mendengar) tapi tidak memiliki sifat pendengaran; Bashiruun (Maha Melihat ) tapi tidak memiliki sift penglihatan. dan begitu seterusnya.
Syubhat mereka dalam masalah tauhid, diataranya :
Mereka mengatakan :” kami menetapkan Alloh Azza wa Jalla sebagai dzat (diri) yang qadim (terdahulu), sedangkan orang-orang (Salafi Ahlus Sunnah-red) yang menetapkan sifat-sifat bagi Alloh Azza wa Jalla berarti telah menetapkan banyak dzat terdahulu yang lain bersama dzat (diri) Alloh Azza wa Jalla .Kaum Nasrani yang menetapkan banyak dzat terdahulu bersama Alloh Azza wa Jalla dihukumi sebagai orang-orang kafir !, maka bagaimana halnya dengan orang-orang yang menetapkannya ?
Ungkapan mereka ini adalah talbis !! (pengaburan terhadap hakekat) dan kedustaan yang dapat dipahami –secara keliru- oleh orang awam yang mendengarnya bahwa orang-orang (Salafi Ahlus Sunnah –red) yang menetapkan sifat-sifat bagi Alloh Azza wa Jalla berarti menetapkan banyak dzat terdahulu yang lain bersama dzat Alloh Azza wa Jalla . Padahal sebenarnya Ahlus Sunnah hanya menetapkan satu dzat yang terdahulu (yaitu Alloh Azza wa Jalla ) yang memiliki siat-sifat (sempurna) yang banyak. Mereka menetapkan satu sesembahan saja (yaitu Alloh Azza wa Jalla )dan tidak menjadikan sifat-sifat yang dimilikiNya sebagai sesembahan tersendiri, Ahlus Sunnah hanya menetapkan bahwa Alloh Azza wa Jalla adalah ilah (sesembahan) yang tunggal yang memiliki asmaul Husna (nama yang amat sangat indah sekali –red) dan sifat-sifat (yang sempurna).
Apa yang dikatakan Mu’tazilah ini sama persis dengan apa yang dikatakan oleh kaum musyrikin Makkah penyembah berhala ketika mendustakan dakwah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . kaum musyrikin tersebut berkata,
”Muhammad menyeru/mengajak manusia kepada sesembahan yang satu, tapi kenyataannya dia mengatakan `Ya Samii` (Wahai Yanag Maha Mendengar), `Ya Bashiir` (wahai Yang Maha Melihat)”, menyeru kepada sesembahan yang banyak.”
Maka Alloh Azza wa Jalla membantah –perkataan perkataan dusta mereka- dengan firmanNya,
“Katakanlah,” Serulah Alloh Azza wa Jalla atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al Asmaaul husna (nama-nama yang indah lagi sempurna)”(QS Al Israa:110).
Karenanya Alloh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia adalah sesembahan yang satu/tunggal meskipun memiliki banyak nama yang indah yang diambil dari sifat-sifatNya. Sehingga jelaslah bahwa dzat (diri) Alloh Azza wa Jalla itu satu sedangkan sifat-sifatNya banyak.
Mereka mengatakan,” Kalau Alloh itu Mengetahui dengan (sifat) ilmu di luar daripada dzat-Nya, Hidup dengan (sifat) kehidupan di luar daripada dzat-Nya-sebagaimana halnya yang ada pada manusia-, berarti bahwa disana ada dua unsur yaitu sifat dan (dzat) yang disifati, dan itu adalah keadaan dari suatu jazad (jisim), padahal Alloh Azza wa Jalla dijauhkan dari berjasad (berjisim).”
Kata jisim (jasad) tidak pernah diungkapkan dalam Al Qur’an maupun As Sunnah, baik dengan-kalimat- penetapan maupun peniadaan. Sehingga barangsiapa yang menggunakan kata `jisim` (jasad) adalah apa yang disifati dengan sifat-sifat dan dapat dilihat oleh penglihatan, dapat bicara dan bercakap-cakap dengan yang lain, dapat mendengar, melihat, ridha dan murka, maka semua makna ini adalah memang benar telah ditetapkan untuk Alloh Azza wa Jalla , dimana Alloh Azza wa Jalla disifati dengan sifat-sifat seperti itu. Maka kita tidak dapat me-nafi-kan (meniadakan)nya hanya karena mereka (muta’zilah) menyebut apa yang disifati itu sebagai jisim (jasad), sebagaimana kita tidak mencela para Shohabat rodliallohu anhum hanya karena kaum rafidhah menamai/memberikan julukan-kepada orang-orang yang mencintai dan loyal kepada para Shohabat rodliallohu anhum sebagai kelompok nawashib.
Sedangkan jika maksud kata jisim tersebut adalah bahwa sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla itu sama atau serupa dengan sifat-sifat MakhlukNya, maka ini adalah perkataan batil !!. Karena Ahlus Sunnah Salafiyyun-yang menetapkan bahwa Alloh Azza wa Jalla memiliki sifat-tidaklah menyerupakan sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla dengan sifat makhlukNya, melainkan Ahlus Sunnah bagi-Nya sifat-sifat yang layak dan sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya tanpa menyerupakan dengan sifat-sifat makhlukNya dan tanpa meniadakan sifat-sifatNya itu. Karena Alloh Azza wa Jalla berfirman,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy Syuro 11)
Jika Ahlus Sunnah tidak pernah menyerupakan sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla dengan sifat makhluk-Nya, dan wahyu juga tidak pernah mengungkapkan kata jisim (jasad), tidak dengan (kalimat) penetapan dan tidak pula dengan (kalimat) peniadaan, maka hal itu tidak mengharuskan Ahlus Sunnah meniadakan sifat-sifat bagi Alloh Azza wa Jalla , hanya karena orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah menuduh mereka sebagai kaum mujassimah (yang menyatakan bahwa Alloh Azza wa Jalla berjazad).
Kedua pokok syubhat inilah yang mereka dakwahkan yang berkaitan dengan sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla yang mereka ingkari. Kemudian dua pokok syubhat ini menjadi dasar dibangunnya syubhat-syubhat mereka lainnya dalam merinci sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla satu persatu. Diantaranya : Mereka mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk !! bukan Kalamulloh (firman Alloh Azza wa Jalla ) yang hakiki karena sebagai konsekuansi pemikiran mereka yaitu menolak sifat kalam (berbicara) bagi Alloh Azza wa Jalla . Mereka juga mengingkari ru’yatulloh (bahwa setiap mukmin akan melihat Alloh Azza wa Jalla diakherat dengan mata mereka); mengingkari sifat istiwa’ (yakni Alloh Azza wa Jalla berada tinggi di atas Arsy-Nya), sifat datang, wajah, dua tangan, mata dan seluruh sifat lainnya (baik sifat dzat maupun sifat perbuatan), Semuanya berawal dari kedua pokok syubhat diatas.
Pembahasan Adil terkait dengan perbuatan-perbuatan Alloh Azza wa Jalla , berbeda dengan pembahasan tentang tauhid diatas yang berkaitan dengan sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla .
Maksud prinsip adil menurut Mu’tazilah adalah “ Semua perbuatan Alloh Azza wa Jalla itu baik, Alloh Azza wa Jalla tidak melakukan sesuatu yang jelek dan Dia tidak lalai terhadap apa yang wajib atas-Nya.” Hal ini bisa dipahami dari pernyataan salah satu tokoh mereka Ibnu Mantuyah yang berkata,” Bila kita mengetahui ada suatu perbuatan yang telah Alloh Azza wa Jalla lakukan, maka wajib bagi kita untuk menghukumi bahwa perbuatan itu baik,dan kita mengetahui bahwa ada padanya sisi kebaikan, baik secara global maupun terperinci. Dan bila dapati suatu perbuatan jelek maka wajib menghukumi bahwa kejelekan itu bukan dari Alloh Azza wa Jalla .”
Syubhat mereka ini juga dikatakan oleh tokoh sejarahwan kalangan Mu’tazilah, Al Qodhi Abdul jabbar yang berkata,” Salah satu bukti bahwa Alloh Azza wa Jalla tiak boleh menginginkan kemaksiatan adalah jika Alloh Azza wa Jalla menginginkannya berarti mesti ada pada Alloh Azza wa Jalla suatu sifat kekurangan; dan ini tidak boleh pada Alloh Azza wa Jalla .”
Ketika kita dapati pernyataan-pernyataan mereka bahwa Mu’tazilah meyakini perbuatan Alloh Azza wa Jalla itu semuanya baik. Oleh karena itu mereka menjauhkan dari Alloh Azza wa Jalla perbuatan maupun keinginan jelek, yang ujung pemikiran ini adalah merka ingkar terhadap keberadaan Alloh Azza wa Jalla sebagai Pencipta perbuatan-perbuatan pada hamba karena ada diantara perbuatan-perbuatan para hamba adalah berupa kejelekan. Sebagaimana mereka mu’tazilah menjauhkan dari Alloh Azza wa Jalla kelalaian terhadap apa yang wajib atas diriNya.
Pernyataan Mu’tazilah bahwa semua perbuatan Alloh Azza wa Jalla itu baik, sehingg Alloh Azza wa Jalla tidak melakukan kejelekan dan tidak menginginkannya, menurut lahirnya hal ini bisa diterima. karena penciptaan, perbuatan, keputusan dan ketetapan Alloh Azza wa Jalla semuanya baik. Sebab Alloh Azza wa Jalla mensucikan diriNya sendiri dari perbuatan zhalim. Dan perbuatan dhalim itu hakekatnya adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya., sedangkan Alloh Azza wa Jalla telah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai,dan itu semuanya baik. Sedangkan kejelekan itu ada ketika sesuatu diletakkan tidak pada tepatnya, dan jika diletakkan pada tempatnya maka tidaklah jelek.
Maka ketahuilah, bahwa kejelekan itu tidak disandarkan kepada Alloh Azza wa Jalla terbukti dengan nama-nama-Nya yang husna (sangat indah sempurna), diantaranya ada namaNya Al Quddus (Mahasuci), yakni Alloh Azza wa Jalla disucikan dari segala kejelekan, kekurangan, dan cacat sebagaimana diungkapkan oleh para ahli tafsir dan ahli lughoh/bahasa.
Adapun pernyataan bahwa perbuatan-perbuatan para hamba bukanlah ciptaan Alloh Azza wa Jalla karena ada yang jelek, maka ini adalah pemikiran batil !. hal ini bertentangan dengan apa yang dinyatakan sendiri oleh Alloh Azza wa Jalla dalam Al Qur’an bahwa Dia adalah pencipta segala sesuatu, sebagaimana firmanNya,
“ Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” [QS ar Ra’du 16 dan Az Zumar 62]
dan lebih tegas lagi Allah menyatakan bahwa Dia menciptakan manusia beserta perbuatannya dalam firmanNya,
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” [QS Ash Shaffat 96].
Dengan Ayat ini ,maka Ahlus Sunnah Salafiyyun berpendapat bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk para hamba, kemampuan (qudrot) dan keinginan (iradah) mereka, serta sebab-sebab terlahirnya segala perbuatan mereka (yang baik maupun yang jelek). jadi perbuatan itu disandarkan kepada Alloh Azza wa Jalla dari sudut bahwa perbuatan tersebut diciptakan oleh Alloh Azza wa Jalla .Dan disandarkan kepada hamba dari sudut bahwa hamba tersebut sebagai pelaku sebab akibat (yang telah Alloh Azza wa Jalla jadikan untuknya).
Dan kunci pertanggungjawaban serta pengikat antara perintah dan larangan, pahala dan siksa adalah iradah (kehendak), yang Alloh Azza wa Jalla berikan kepada hamba, yang dengannya mereka bisa memilih antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Dengan demikian tidaklah hamba itu Majbur [dipaksa] untuk melakukan segala perbuatan yang baik maupun yang buruk, karena ada kehendak [iradah] yang dengan kehendak ini dia bisa memilih antara mengerjakannya atau meninggalkannya.
Tentunya hal ini tidak pula dikatakan bahwa hamba tersebut menciptakan perbuatannya sendiri, karena qudrat (kemampuan) dan iradat (kehendak) pada hamba tersebut hanya merupakan sebab dari terlahirnya suatu perbuatan, dan itu diciptakan oleh Alloh Azza wa Jalla .Sehingga dengan demikian, meskipun seorang hamba telah memiliki qudrat dan iradat untuk berbuat sesuatu akan tetapi bergantung kepada iradat Alloh Azza wa Jalla . Jika Alloh Azza wa Jalla menghendaki maka perbuatan itu akan berlangsung, sebaliknya jika tidak maka tidak akan berlangsung. Sebagaimana difahami dari ayatNya ,
“Dan tidaklah kamu berkehendak (mampu menempuh jalan itu), kecuali bila dikendaki oleh Alloh .” [QS Al Insaan 30].
Kemudian berkaitan dengan pernyataan Mu’tazilah, bahwa Alloh Azza wa Jalla lalai terhadap apa yang wajib atas diriNya, maka perlu dipertanyakan lebih dahulu, “ Apa yang kalian maksud dengan apa yang wajib atas Alloh Azza wa Jalla ?” Apakah hamba mewajibkan atas Alloh Azza wa Jalla atau Alloh Azza wa Jalla mewajibkan atas diriNya sendiri ?
Jika yang dimaksud yang pertama, maka berarti Allah bukan sebagai pelaku perbuatan yang memiliki ikhtiyar (pilihan/usaha)-karena diwajibkan oleh hamba-, namun hal ini adalah bathil berdasarkan dalil-dalil yang menunjukan bahwa Alloh Azza wa Jalla memiliki tindak tanduk pengaturan yang bersifat mutlak (sempurna) terhadap para hamba-Nya berdasarkan kehendak-Nya.
Sedangkan jika yang dimaksud yang kedua, maka hal ini bisa diterima, meskipun hal itu tidak berarti bahwa Alloh Azza wa Jalla bukan pelaku perbuatan yang memiliki ikhtiyar, karena Alloh Azza wa Jalla tetap memiliki keutamaan dalam apa yang Dia wajibkan atas diriNya sendiri.
3. Pelaksanaan Wa’id [ ancaman]
yang dimaksud oleh firqoh Mu’tazilah disini adalah bahwa Alloh Azza wa Jalla wajib melaksanakan ancaman siksanya kepada para pelaku maksiat (terutama dosa besar), sebagaimana melaksanakan janjiNya berupa pahala bagi orang-orang yang taat. Karena –menurut mereka- jika Alloh Azza wa Jalla tidak melaksanakannya berarti Alloh Azza wa Jalla telah mengingkari apa yang telah Dia janjikan untuk para hambaNya yang taat dan telah berdusta atas apa yang telah Dia ancamkan kepada mereka yang berlaku maksiat. Dan terkait dengan dosa besar , mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar jika mati dalam keadaan belum bertaubat maka maka dia berhak masuk neraka dan kekal di dalamnya sebagaimana orang-orang kafir. Karena Alloh Azza wa Jalla telah mengancamnya demikian maka Alloh Azza wa Jalla wajib melaksanakan ancamanNya tersebut., hanya saja siksa mereka lebih ringan daripada siksa orang kafir di neraka.
Pernyataan ini bertentangan dengan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Salafiyah berdasarkan dalil-dalil yang nyata. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa Alloh Azza wa Jalla bila menjanjikan sesuatu kepada para hamba-Nya yang taat maka akan Allah laksanakan sebagai bentuk penepatan janjiNya, bukan karena hamba berhak mendapatkannya atau hamba tersebut yang mewajibkan agar Alloh Azza wa Jalla memberikan haknya. Ahlus Sunnah juga berpendapat bahwa Alloh Azza wa Jalla bisa saja tidak melaksanakan ancamanNya, yang menunjukkan bahwa Alloh Azza wa Jalla memiliki kemurahan dan pengampun yang karenanya Alloh Azza wa Jalla mendapatkan pujian. Sebab semua itu adalah hak Allah, jika Dia berkehendak maka bisa membebaskannya atau jika Dia berkehendak maka bisa menuntutnya. dan seorang manusia dikatakan murah hati tatkala dia merelakan atau tidak menuntut haknya, maka bagaimana halnya dengan Allah, Dzat yang Maha Pemurah, tentu lebih bisa untuk tidak menuntut hakNya. Maka kita dapati banyak Ayat Allah yang menjelaskan bahwa Dia tidak akan mengingkari janjiNya, dan tidak kita dapati satupun ayat yang menyatakan bahwa Alloh Azza wa Jalla tidak akan mengingkari ancamanNya. Hal ini menunjukkan bahwa Alloh Azza wa Jalla bisa memaafkan kesalahan dan dosa hambaNya bila Dia menghendaki, namun hal ini khusus untuk dosa-dosa selain dosa syirik yang telah Alloh Azza wa Jalla nyatakan secara jelas Dia tidak akan mengampuninya,” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikendakiNya.” [QS An Nisaa 48 dan 116].
4. Manzilah baina manzilatain [Kedudukan diantara dua kedudukan]
Prinsip ini seperti kita maklumi berkaitan dengan pelaku dosa besar sebagaimana prinsip sebelumnya. Perbedaaanya bahwa prinsip yang sebelumnya berbicara tentang hukum pelaku dosa besar di akherat; sedangkan dalam prinsip ini yang dibicarakan adalah hukum pelaku dosa beasr di dunia.
maksud prinsip kelima dari mu’tazilah ini adalah bahwa pelaku dosa besar itu tidak disebut mukmin dan tidak pula kafir, tapi berada diantara dua kedudukan, iman dan kufur, meskipun mereka menyebutnya dengan istilah fasik. hanya saja menurut mereka bahwa dia diakherat masuk ke neraka dan kekal di dalamnya seperti halnya orang kafir, meskipun siksaannya lebih ringan dibanding siksa orang kafir .
Hal ini sangat bertentangan dengan keyakinan Ahlus Sunnah tentang pelaku dosa besar bahwa Pelaku dosa besar disebut sebagai mukmin yang kurang imannya (atau mukmin yang bermaksiat): ini hukum di dunia. Sedangkan hukum di akherat Ahlus Sunnah berpendapat bahwa pelaku dosa besar masuk dalam kategori ‘dibawah kehendk Alloh Azza wa Jalla ‘, bila Alloh Azza wa Jalla menghendaki untuk mengampuninya maka Allah akan mengampuninya, atau akan menyiksanya , sebagaimana telah dijelaskan pada prinsip sebelumnya yakni selama doa yang dilakukan bukan syirik karena Alloh Azza wa Jalla tidak akan mengampuni dosa syirik itu bila pelakunya belum bertobat sebelum matinya.
5.Amar ma’ruf nahi mungkar
Ada dua sisi yang perlu disoroti dari maksud prinsip muktazilah yang kelima ini :
a). Yang berkaitan dengan wasilah (cara) dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, yang menurut menuka urutannya yakni dengan lisan dahulu, kemudian jika tidak’mempan’ maka dengan tangan-tanpa pedang-, dan jika tidak mempan maka dengan pedang.
Sementara menurut Ahlus Sunnah ,sesuai hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam urutan amar ma’ruf nahi mungkar adalah dengan tangan –tanpa pedang-, jika tidak mampu dengan tanagn maka dengan lisan, jika tidak mampu dengan lisan, maka cukup dengan hati.
maka firqoh Mu’tazilah memulai amar ma’ruf nahi mungkar dengan yang ringan dahulu bau kemudian yang berat, sedangkan Ahlus Sunnah memulai dengan yang berat dulu kemudian kalau tidak manpu dilakukan dengan yang ringan.
b). Menurut mereka boleh memberontak terhadap imam/pemimpin muslim (yang dzalim) dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, dalam pengertian boleh memerangi pemimpin dengan pedang (senjata). Dan bahkan lebih luas daripada itu boleh –menurut merka- memerangi siapa saja yang menyelisihi mereka (tidak terbatas kepada pemimpin/amir/imam saja.
Sedangkan Akidah Ahlus Sunnah meyakini bahwa tidak boleh memberontak terhadap imam/pemimpin kaum muslimin dan tidak boleh memerangi setiap orang yang menyelisihi selama mereka masih mendirikan sholat. Karena bila hal itu dilakukan, justru akan menambah kemungkaran yang lebih besar, yakni diantaranya menimbulkan perpecahan di kalangan muslimin dan pertumpahan darah tanpa haq, pahala sementara kemungkaran (awal) kemungkinan tidak hilang. Pemberontakan inilah yang merupakan sumber dari kejelekan dan fitnah sampa kiamat kelak.
Para Shohabat rodliallohu anhum pernah meminta izin kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam untuk memerangi para pemimpin atau amir yang suka mengkahirkan waktu sholat, namun Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menjawab,” Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat.” (HR Muslim no 1854).
Sumber : Muaqif ibnil Qoyyim min Al Jahmiyyah wa al Mu’tazilah wa al Asy’ariyah wa Ash Shufiyah’
oleh : DR Awwad Abdulloh al Mu’tiq, Penerbit Maktabah Ar Rusyd, Riyadh, KSA
Diterjemahkan oleh Abu Humaid dalam Al Fatawa vol 3 th II 1425 H
http://al-aisar.com/content/view/165/
0 comments:
Post a Comment