>

Islam indonesia

Tuesday, July 16, 2013

Ayat Terberat Untuk Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam


Minggu, 14 Juli 2013 19:56:53 WIB
AYAT TERBERAT UNTUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai


Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan [Hûd/11: 112]

RINGKASAN TAFSÎR[1]
(Maka tetaplah kamu [pada jalan yang benar]), yaitu beristiqomahlah kamu, (sebagaimana diperintahkan kepadamu) di dalam kitab-Nya, ber‘aqîdahlah yang benar, beramal solehlah dan tinggalkan kebatilan tanpa menyimpang ke kiri ataupun ke kanan dan terus meneruslah dalam keadaan seperti itu sampai kamu wafat. (dan [juga] orang yang telah bertaubat bersama kamu), yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Mukminin, agar kalian mendapatkan balasan yang baik kelak di hari Perhitungan (yaumul-hisâb) dan hari Pembalasan (yaumul-jazâ’).

(Dan janganlah kalian melampaui batas), dengan berlebih-lebihan dari batas-batas yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla , baik di dalam keyakinan maupun amal.

(Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan) Dia (Allâh Azza wa Jalla ) tidak akan pernah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan dan Maha mengetahui segala sesuatu yang disembunyi-sembunyikan, meskipun tidak tampak di hadapan manusia.

AYAT TERBERAT MENURUT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Ayat di ataslah yang menurut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat berat untuk dilaksanakan.

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:

مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا

Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya[2]

MENGAPA AYAT TERSEBUT DIANGGAP SANGAT BERAT OLEH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?
Karena pada ayat tersebut mengandung perintah untuk beristiqomah. Sebenarnya seperti apakah istiqomah yang dimaksudkan, sehingga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai merasa sangat berat ketika mendapatkan perintah tersebut? Inilah yang menjadi bagian pembahasan artikel ini, serta penulis menambahkannya dengan sebab-sebab agar bisa beristiqomah, cara termudah untuk beristiqomah, hal-hal yang dapat merusak dan menghalangi sikap istiqomah serta keutamaan orang yang beristiqomah.

PENGERTIAN ISTIQOMAH
Beratnya perintah beristiqomah dapat dimengerti melalui definisi beberapa ulama berikut ini :

1. Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan segala apapun.”[3]

2. ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu : “Istiqâmah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4]

3. Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah : “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5]

4. An-Nawawi rahimahullah : “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.”[6]

5. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah : “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”[7]

HAKEKAT ISTIQOMAH
Dari definisi-definisi (pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa hakekat istiqâmah meliputi hal-hal berikut:

1. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat syirik
2. Berjalan di atas kebenaran (agama yang haq).
3. Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah, secara lahir dan batin.
4. Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh.
5. Teratur dalam mengerjakan ketaatan.
6. Terus-menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun ke kiri sampai ajal menjemput.

Dan sekali lagi sebagai penekanan, tampak jelas sulit dan beratnya beristiqomah yang terwujud dengan melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla secara kontinyu, padahal manusia mengalami pasang-surut keimanan dan menghadapi berbagai macam fitnah duniawi yang sangat berpotensi melunturkan semangat beristiqomah.

KEUTAMAAN ORANG YANG BERISTIQOMAH
Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah sangat banyak sekali. Akan tetapi, secara umum keutamaan tersebut tercantum pada tiga ayat berikut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ﴿٣٠﴾نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allâh" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan oleh Allâh kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Fushshilat/41:30-32]

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata [8] , “…Oleh karena itu, agama (Islam) seluruhnya terkandung dalam firman Allâh[9] : { فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ } dan
firman-Nya [10] : { إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }

Sungguh besar keutamaan istiqomah!

SEBAB SEBAB AGAR DAPAT MEWUJUDKAN ISTIQOMAH
Seseorang bisa ber-istiqâmah karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Taufik Dan Hidayah Dari Allâh Azza Wa Jalla
Inilah sebab yang paling utama. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allâh kesesatannya, niscaya Allâh akan menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit [al-An’âm/6:125]

Oleh karena itu, sebisa mungkin kita melakukan berbagai hal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita.

2. Doa
Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doa para hamba-Nya. Oleh karena itu, jika seseorang menginginkan istiqomah, maka ia harus banyak memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar bisa menjadi seorang yang mustaqîm (orang yang beristiqomah). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku [al-Baqarah/2: 186]

3. Mengikuti Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamâ’ah
Niat ikhlash dan rajin beribadah saja tidaklah cukup untuk bisa beristiqomah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus berjalan di jalan yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia beristiqomah pada kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya ke dalam api neraka. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mengabarkan bahwa hanya ada satu kelompok yang senantiasa mengemban kebenarannya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudhârat kepada mereka sampai datang perkara Allâh dan mereka tetap dengan kebenarannya [11]

4. Sering Melakukan Proses Muhâsabatun Nafs (Mengintrospeksi Diri)
Orang yang ingin beristiqomah harus sering menjalankan proses muhasabatun nafs. Jika seseorang tidak menyadari akan hakikat apa yang dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa, maka dia tidak akan mau berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka semakin banyak pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan belumlah seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk.

‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:

حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، فَإنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِيْ الْحِسَابِ غَدًا، أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ اْليَوْمَ

Introspeksilah diri-diri kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan amalan-amalan kalian (di hari Perhitungan)! Timbang-timbanglah diri kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan amal)! Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari Hisab)."[12]

5. Mengerjakan Perbuatan Baik Setelah Mengerjakan Perbuatan Buruk
Salah satu sebab datangnya istiqomah mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat dan mengembalikan harta curiannya itu, kemudian memperbanyak sedekah. Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk
[Hûd/11:114]

6. Tidak Meninggalkan Amalan-Amalan Kebaikan Yang Sudah Biasa Dikerjakan
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts berikut:

عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamberkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[13]

Perlu menjadi catatan, bahwa yang menjadi tuntutan adalah kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan, meskipun amalan itu sedikit, bukan kuantitasnya.

PENTINGNYA MUJAHADATUN-NAFS DALAM MENGGAPAI ISTIQOMAH
Istiqomah bukanlah suatu perkara yang mudah diraih. Untuk menggapainya, menjalankan mujâhadatun-nafs tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang selalu istiqomah. Mujâhadatun-nafs adalah proses memaksa, melatih diri dan berjuang sekuat tenaga agar jiwa bisa selalu tunduk dan taat terhadap syariat. Mujâhadatun-nafs dapat dilakukan dengan harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Harus Bertekad Kuat Untuk Merubah Diri (al-‘Azm) Dan Bertawakkal Kepada Allâh Azza Wa Jalla
Tanpa tekad yang kuat, ke-istiqâmah-an tidak akan bisa dicapai. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imrân/2:159)

2. Mencintai Allâh Dan Rasul-Nya Melebihi Segala Sesuatu
Salah satu cara menumbuhkan tekad untuk beristiqomah adalah dengan terus-menerus mencari sebab agar bisa mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n di atas segala sesuatu. – Istiqomah sangat erat kaitannya dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut berada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: menjadikan kecintaannya kepada Allâh dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu selain keduanya, mencintai seseorang yang dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api[14]

Dengan memiliki rasa cinta yang seperti disebutkan di atas, maka seseorang akan terus berupaya memacu dirinya untuk bisa ber-istiqâmah.

3. Mengatur Waktu Dan Aktivitas Keseharian Sebaik, Sepadat Dan Seefektif Mungkin
Seorang yang ingin beristiqomah harus benar-benar membuat jadwal kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap bulan dan tiap tahun. Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih diri untuk shalat malam (tahajjud), maka ia mesti berusaha untuk tidur lebih awal (tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.

Untuk kegiatan tiap pekan, misalnya, menargetkan pada setiap pekan ada satu hari dimana ia harus menyempatkan diri untuk berinfak kepada sekian orang, membantu orang lain dan tetangga.

Untuk kegiatan tahunan, seperti membiasakan diri untuk dapat beri’tikâf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhân, sehingga dia pun telah merencanakan hari libur (cuti) dari semua aktivitasnya.

4. Melaksanakan Ibadah-Ibadah Sebaik Mungkin Seolah-Olah Ibadah Tersebut Adalah Ibadah Yang Terakhir Kali Dan Ajal Akan Menjemput
Orang yang ingin beristiqomah harus membiasakan diri ketika mengerjakan suatu ibadah tertentu, dia membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan hidup lama lagi, sehingga ia akan benar-benar bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya.

5. Mengintrospeksi Diri Atas Amalan-Amalan Baik Yang Telah Ditinggalkannya Dan Terhadap Amalan-Amalan Buruk Yang Telah Dikerjakannya.
Setelah memasang target-target ibadah dan amalan-amalan, introspeksi diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini dilakukan agar seseorang bisa memperbaiki dirinya.

6. Turut Andil Dalam Dakwah
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keutamaan orang yang beristiqomah dalam surat Fushshilat yang telah dicantum di atas, Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berdakwah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’? [Fushshilat/42:33]

Ini menunjukkan ada kaitan erat antara pencapaian istiqomah dengan berdakwah.

6. Rela Bersabar Untuk Melatih Diri Dan Mengekang Hawa Nafsu Selama Bertahun-Tahun
Untuk dapat beristiqomah tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa nasu kita dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun. Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata:

كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ

Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa beristiqomah [15]

HAL-HAL YANG MERUSAK DAN MENGAHALANGI ISTIQOMAH
1. Setan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ

Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus [al-A’râf/7:16]

2. HawaNafsu
3. Lemahnya Niat Untuk Berubah
4. Masyarakat Dan Keluarga Yang Rusak Dan Islam Yang Dianggap Asing
Masyarakat dan keluarga yang rusak/buruk dapat menghalangi seseorang untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin bertobat dan ingin beristiqomah sering kali merasa tidak enak jika menyelisihi masyarakat atau keluarganya yang rusak.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamtelah mengabarkan bahwa Islam di akhir zaman akan terlihat asing dalam sabdanya:

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang terasingkan [16]

Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

(( طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ))، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (( أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ )).

Beruntunglah orang-orang yang asing. Beliau pun ditanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, ya Rasûlullâh?” Beliau pun menjawab, “(Mereka adalah) orang-orang shâlih di antara orang-orang jelek/rusak yang (jumlahnya) banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang mematuhinya.”

Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjalankan Islam dan beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya saja cadar, generasi Salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan di dalam Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar dan para istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diwajibkan memakai cadar. Pada zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya, sebagian orang yang dipandang berilmu di tengah masyarakat mengeluarkan pernyataan serupa.

5. Zaman Yang Penuh Fitnah Yang Berbeda Dengan Zaman Salaf
Zaman yang kita jalani sekarang ini sangat berbeda dengan zaman generasi Salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum Muslimin akan mendapatkan fitnah yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah tersebutlah yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ

Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara api [18] [19]

6. Tidak Adanya Orang Yang Sering Menasihati
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamselalu memberi nasihat dan petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga Allâh Azza wa Jalla mengatakan di dalam al-Qur’ân:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus [asy-Syûrâ/42:52]

Tidak adanya seorang penasihat di suatu daerah maka itu adalah suatu musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi seseorang untuk beristiqomah. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada pembaca yang di wilayahnya tidak (belum) ada kajian Islam yang shahih untuk segera mendatangkan sang penasihat, atau mendatangi kajian-kajian atau dengan cara lain agar bisa selalu mendengarkan nasehat-nasehat yang baik yang dapat menenangkan dan meneguhkan jiwa di atas kebenaran.

7. Banyak Berkecimpung Dengan Urusan Dunia
Banyak berkecimpung dengan urusan dunia juga dapat menghalangi ke-istiqâmah-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan [Ali ‘Imrân/3:85]

8. Teman Yang Jelek
Tidak diragukan bahwa teman yang jelek sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah teman yang baik dan soleh yang bisa mengajak kita untuk bisa beristiqomah.

9. Takut Dikatakan Sebagai Orang Yang Shaleh, Alim, Taat Atau Semisalnya
Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah, terutama orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi. Komentar masyarakat tidak perlu diperhatikan baik dalam rangka memuji atau mencemooh. Itu semua adalah ujian. Oang yang benar-benar mencintai Allâh Azza wa Jalla , tidak akan menghiraukan hal tersebut.

10. Putus Asa Dengan Rahmat Dan Pengampunan Allâh Azza Wa Jalla Sehingga Tidak Mau Bertobat
Orang yang bergelimang dengan dosa, biasanya terbesik di hatinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa ber-istiqâmah, sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada kebaikan yang pernah aku perbuat?” Ketahuilah, Allâh Azza wa Jalla Maha Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٥٣﴾وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54) Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) [az-Zumar/39:53-54]

Kesimpulan
1. Ayat yang menurut Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamsangat berat untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk beristiqomah dalam surat Hûd.
2. Hakekat istiqomah meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran, menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir hayat.
3. Seseorang yang ingin beristiqomah harus menempuh cara-cara yang mengantarkan kepadanya.
4. Mujâhadatun nafs , berperan penting dalam pencapaian istiqomah
5. Banyak faktor yang mengganggu seorang Muslim untuk beristiqomah. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Mukmin menjauhinya.
6. Orang yang mencapai derajat istiqomah akan mendapat ganjaran yang sangat besar sebagaimana telah disebutkan. Wallâhu a'lam

Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita meraih nikmat istiqomah sampai akhir hayat nanti. Âmîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
*Staf Pengajar di Ma’had Tadrîbud-Dua’ât Al-Istiqomah dan SDIT Al-Istiqomah Prabumulih, Sum-Sel.
[1]. Digabungkan dan diringkas dari Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm 4/534, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân hlm. 390 dan Aisar at-Tafâsir 2/193.
[2]. Lihat Tafsîr aL-Qurthubi 9/107. Akhir perkataan Ibnu ‘Abbâs semisal dengan apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 3297 dan yang lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 955.
[3]. Lihat Jâmi’ al-‘Ulûm wal-Hikam hal. 235.
[4]. Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad hal. 115 dan Ma’âlimut-Tanzîl 4/203.
[5]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 1/199.
[6]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 1/199.
[7]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam hal.236.
[8]. Lihat Tharîq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’âdatain hal. 73.
[9]. Yaitu ayat yang kita bahas ini.
[10]. Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), tidak ada ketakutan pada diri mereka dan tidak pula mereka bersedih.” (Al-Ahqâf: 13)
[11]. HR. Muslim no. 5059.
[12]. Az-Zuhd wa ar-Raqâ'iq , Ibnul-Mubârak no. 307, al-Mushannaf , Ibnu Abi Syaibah no. 35600
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1152.
[14]. HR. al-Bukhâri no. 16, dan Muslim 173.
[15]. Hilyatul-Auliyâ’ 3/147
[16]. HR. Muslim no. 389
[17]. HR. Ahmad no. 6650, dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
[18]. Maksudnya, di tengah malam yang sangat gelap tidak ada yang bisa dijadikan sumber penerangan kecuali bara api. Apabila dia tidak memegangnya, maka dia tidak bisa selamat di jalan yang penuh rintangan, seperti: jalan berduri atau di pegunungan yang penuh dengan tebing. Apabila dia tidak berjalan, bahaya masih juga mengancamnya, seperti: dia akan diserang binatang buas atau yang lainnya. Sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali harus berjalan dengan membawa bara api yang nanti akan melukai tangannya.
[19]. HR. at-Tirmidzi no. 2260. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 957.

Sababun Nuzul

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2). Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (3). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (4). Yang di lehernya ada tali dari sabut (5)”. (QS. Al Lahab [111] : 1-5).
Surat yang mulia ini memiliki sebab turunnya ayat (sababun nuzul1) dalam hadits. Yaitu terdapat dalam kitab Shahih Bukhari sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,
قال : لما نزَلتْ : { وأنْذِرْ عشِيرتَكَ الأَقْرَبِينَ } [ الشعراء : 214 ] صَعِدَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم على الصَّفا ، فجعل يُنادي : يا بني فِهْرٍ ، يا بني عدِيّ – لِبُطونِ قُريشٍ – حتى اجتمعوا. فجعل الرجلُ إذا لم يستْطِعْ أَن يخرجَ أرسل رسولا ، ليَنْظرَ ما هو ؟ فجاء أبو لهبٍ وقُريشٌ ، فقال : أرأيْتَكُم لو أخبَرْتُكم أن خَيْلا بالوادي ، تُريدُ أن تغير عليكم ، أَكُنْتمْ مُصدِّقيَّ ؟ قالوا : نعم ، ما جرَّبنا عليكَ إلا صِدقا ، قال : فإِنِّي نذيرٌ لكم بين يديْ عذاب شديدٍ ، فقال أبو لهب : تَبّا لك سائرَ اليومِ ، أَلهذا جمَعْتنَا ؟ فنزلت { تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ }.( سورة المسد : الآية2).
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ‘Ketika turun ayat ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat’. (QS. Asy Syu’ara : 214). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendaki Bukit Shafaa, lalu beliau menyerukan panggilan/pengumuman, “Wahai Bani Fahr, wahai Bani ‘Adii” hingga mereka berkumpul sampai-sampai jika seseorang tidak dapat hadir maka mereka mengutus seorang utusan untuk mengetahui apa yang diumumkan. Lalu Abu Lahab dan seorang Quroisy datang. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Seandainya aku mengatakan ada sekelompok pasukan berkuda di sebuah lembah yang akan menyerang kalian. Apakah kalian akan mempercayai ucapanku ?” Lalu mereka menjawab, ‘Tentu kami percaya, tidaklah keluar dari lisanmu melainkan sebuah kejujuran’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum Allah menimpakan adzab yang amat pedih”. Lalu Abu Lahab menjawab, ‘Sungguh celaka dirimu, apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau mengumpulkan kami ?’ maka turunlah ayat, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2)”(QS. Al Lahab [111] : 1-2)2.
Ibnu Katsir Rahimahullah3 menyebutkan bahwa terdapat dalam riwayat lain,
‘Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan kaum Quraisy, Abu Lahab mengangkat tangannya kemudian mengatakan, “Apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) mengumpulkan kami ?”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat,
تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (QS. Al Lahab [111] : 1).
Potongan ayat yang pertama merupakan do’a untuk Abu Lahab dan potongan ayat kedua merupakan kabar/berita bahwa demikianlah keadaan Abu Lahab.

Kelompok Paman-Paman Nabi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan4,
Paman-paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbagi tiga kelompok jika ditinjau dari cara muamalahnya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
  1. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang beriman, berjihad bersama beliau dan masuk Islam. Mereka adalah Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dan Hamzah bin ‘Abdul Muthalib Rahimahumallah. Paman beliau yang kedualah yang lebih utama jika dibandingkan yang pertama karena termasuk syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan beliau gelar ‘Asadullah (singa Allah) dan ‘Asadurasulullah (singa Rasulullah)5.
  2. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mendukung dan membela Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam walaupun masih tetap dalam kekafiran. Paman beliau tersebut adalah Abu Thalib. Abu Thalib membela dan mendukung dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam namun sangat disayangkan –wal iyyadzu billah- telah ditetapkan baginya adzab. Beliau tidak masuk Islam hingga wafatnya. Ketika menjelang wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengajak beliau masuk Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyib dari bapaknya,
    لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، فَقَالَ : أَيْ عَمِّ قُلْ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ : أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ : عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَبِي طَالِبٍ ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Ketika Abu Thalib menghadapi sakarat maut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang menemuinya. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati bahwa di samping Abu Thalib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Ummayyah bin Al Mughirah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah bagimu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umay (kepada Abu Thalib) mengatakan, ‘Apakah engkau membenci agamanya ‘Abdul Muthallib ?’ Maka tidak henti-hentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memalingkan darinya namun keduanya tetap mengulangi kalimat tersebut. Hingga akhirnya Abu Thalib mengucapkan ucapan terakhirnya dengan apa yang mereka berdua inginkan (di atas agamanya ‘Abdul Muthalib) dan enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Demi Allah aku akan memohonkan ampunan bagimu. Kemudian turunlah firman Allah Subhana wa Ta’ala,
    مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
    Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik” (QS. At Taubah [9] : 113).
    Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Thalib, Allah berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
    إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Sesungguhnya engkau wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan hidayah taufik kepada orang-orang yang engkau cintai melainkan Allahlah yang memberikan hidayah bagi yang dia kehendaki”.(QS. Al Qashash [28] : 56)6.
  3. Paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang enggan menerima risalah beliau dan tetap dalam kekafiran. Dia adalah Abu Lahab, Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan sebuah surat yang sempurna, yang dibaca dalam shalat wajib maupun sunnah, dalam shalat sirr dan jahr, orang yang membacanya akan mendapatkan pahala dan 1 huruf yang dibaca mendapat ganjaran 10 kebaikan.

Penjelasan Ayat

Ibnu Kastir Rahimahullah mengatakan, “Namanya (Abu Lahab) adalah ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdil Muthalib. Kunyahnya Abu ‘Uttaybah, disebut dengan Abu Lahab karena wajahnya yang merah”7. Lebih lanjut, gelar Abu Lahab merupakan gelar yang pas untuknya. Sisi pasnya adalah karena ia akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala yang memiliki lidah api yang dahsyat8.
Firman Allah Ta’ala,
(تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”.
(تَبَّتْ) maksudnya adalah kebinasaan dan kerugian besar, sesatlah perbuatannya dan apa yang ia kerjakan. Sedangkan (وَتَبَّ) maksudnya sungguh telah merugi/binasa dan kebinasaannya serta kehancurannya benar-benar terjadi. Allah ‘Azza wa Jalla memulai firmanNya dengan menyebutkan (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab” sebelum menyebutkan diri Abu Lahab karena tanganlah yang digunakan untuk berbuat, bekerja, mengambil sesuatu dan memberinya9.
Firman Allah Ta’ala,
(مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ)
Tidaklah berfaedah/bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.
Huruf (مَا) dalam ayat ini adalah adalah huruf (مَا) istifhamiyah/pertanyaan sehingga maknanya ‘apakah ada manfaat harta dan apa yang ia usahakan ?’ maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Huruf (مَا) juga dapat bermakna nafiyah/penolakan. Sehingga maknanya tidak bermanfaat baginya harta dan apa yang ia usahakan. Kedua makna ini saling berkaitan, harta yang dimiliki dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun baginya padahal menurut kebiasaan bahwa harta dan apa yang ia usahakan memberikan manfaat bagi pemiliknya. Walaupun demikian apa yang ia miliki tidaklah dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Sebagian ulama menafsirkan (مَا كَسَبَ) “apa yang dia usahakan” dengan anak. Sehingga maknanya “tidaklah bermanfaat baginya harta dan anaknya”. Penafsiran (مَا كَسَبَ) dengan anak adalah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
Mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka” (QS. Nuh [71] : 21)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang kalian makan adalah makan dari hasil yang kalian usahakan. Sesungguhnya anak-anak merupakan bagian dari yang kalian usahan10.
Yang lebih tepat bahwa ayat menunjukkan keumuman sehingga termasuk di dalamnya anak, harta yang diusahakan, kemuliaan dan kedudukan yang berusaha ia raih. Sehingga seluruh yang ia usahakan baik berupa kemuliaan dan kewibawaan maka itu semua tidak bermanfaat sedikitpun untuk menyelamatkannya dari neraka11.
Firman Allah Ta’ala,
(سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ)
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak”.
Huruf sin (س) pada kata (سَيَصْلَى) merupakan tanfis yang menunjukkan akan benar-benar terjadi dan dalam waktu yang dekat. Maksudnya Abu Lahab akan benar-benar dimasukkan ke neraka yang bergejolak dalam waktu yang dekat. Karena selama apapun seseorang hidup di dunia jika dibandingkan dengan akhirat maka hal itu akan sangat dekat/singkat12.
Disebutkan bahwa sebelum meninggalnya Abu Lahab diserang penyakit yang sangat akut. Penyakit tersebut adalah penyakit yang disebut (العدسة) sejenis bisul. Pada saat itu orang arab sangat menjauhi orang yang terkena penyakit ini sebagaimana mereka menjauhi orang yang terkena penyakit tha’un/pes. Sehingga ketika dia telah meninggal tidak ada seorangpun yang sanggup memandikannya hingga pada hari ketiga, anaknya mengguyur jasadnya dari kejauhan13.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala, (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) “api yang bergejolak” yaitu api yang bergejolak dan mempunyai jilatan api serta panasnya luar biasa14.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
(وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”.
Istri Abu Lahab merupakan salah seorang wanita terpandang di kalangan Quraisy*. Dia adalah Ummu Jamiil namanya Arwaa bintu Harbu bin ‘Ummayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Istri Abu Lahab ini termasuk orang yang membantunya dalam kekafiran dan penentangannya kepada risalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah dia kelak akan bersama suaminya di hari qiyamat di dalam adzab neraka jahannam15.
Firman Allah Ta’ala (حَمَّالَةَ) merupakan bentuk sighah muballaghah yang menunjukkan banyak. Disebutkan bahwa ia membawa banyak kayu berduri yang akan diletakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan tujuan untuk mengganggu beliau.
Firman Allah Ta’ala,
(فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ)
Yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Yakni dia pergi ke gurun dengan membawa tali dari sabut untuk membawa kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.16.
Jika kita lihat dengan teliti berdasarkan penafsiran di atas terlihat bertapa istri Abu Lahab ini memiliki tekad yang sangat kuat untuk menganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena ia rela mengorbankan dirinya dengan segala kehormatan yang dimilikinya17. Namun demikian ia tanggalkan semuanya demi mengganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan membantu suaminya. Diriwayatkan dari Ats Tsauriy Rahimahullah, beliau mengatakan (حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ), “Adalah kalung dari api, yang panjangnya 70 hasta”18.

Faidah Surat Al Masad19

  1. Penetapan ketentuan/hukum Allah dengan binasanya Abu Lahab, tidak terlaksananya makarnya yang ia gunakan untuk memperdayai Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
  2. Harta dan anak sama sekali tidaklah bermanfaat/mampu menyelamatkan seorang hamba dari adzab Allah jika perbuatannya mencari murka Allah dan jauh dari ridha Allah.
  3. Haramnya mengganggu seorang mukmin secara mutlak.
  4. Tidak bermanfaatnya kedekatan seseorang dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika perbuatannya adalah kekufuran dan kesyirikan, walaupun ia adalah paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Catatan Kaki
1 Kaidah tafsir tentang hal ini kami persilakan merujuk ke http://www.alhijroh.com/tafsir/kaidah-kedua/
2 HR. Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208.
3 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV terbitan Darul Fawaid, Mesir.
4 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 348-349 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
5 Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam kitab At Tarikh Al Kabir hal. 438/VIII dan Ibnu ‘Ashim dalam Al Jihad no. 249.
6 HR. Bukhori no. 3772, Muslim no. 24 dan lain-lainnya.
7 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
8 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma hal. 350.
9 Idem.
10 HR. Tirmidzi no. 2731, Ibnu Majah no. 2290 dan Ahmad no. 25335. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dan hasan lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth.
11 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 349-351.
12 Idem.
13 Lihat Aitsarut Tafaasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hal. 511/V terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.
14 Shohih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
15 Idem hal 702/IV.
16 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 351.
17 Lihat tanda (*) dalam tulisan ini.
18 Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 702/IV.
19 Lihat Aitsarut Tafaasir hal. 511/V.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman


Artikel Muslim.Or.Id


Sababun Nuzul

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2). Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (3). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (4). Yang di lehernya ada tali dari sabut (5)”. (QS. Al Lahab [111] : 1-5).
Surat yang mulia ini memiliki sebab turunnya ayat (sababun nuzul1) dalam hadits. Yaitu terdapat dalam kitab Shahih Bukhari sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,
قال : لما نزَلتْ : { وأنْذِرْ عشِيرتَكَ الأَقْرَبِينَ } [ الشعراء : 214 ] صَعِدَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم على الصَّفا ، فجعل يُنادي : يا بني فِهْرٍ ، يا بني عدِيّ – لِبُطونِ قُريشٍ – حتى اجتمعوا. فجعل الرجلُ إذا لم يستْطِعْ أَن يخرجَ أرسل رسولا ، ليَنْظرَ ما هو ؟ فجاء أبو لهبٍ وقُريشٌ ، فقال : أرأيْتَكُم لو أخبَرْتُكم أن خَيْلا بالوادي ، تُريدُ أن تغير عليكم ، أَكُنْتمْ مُصدِّقيَّ ؟ قالوا : نعم ، ما جرَّبنا عليكَ إلا صِدقا ، قال : فإِنِّي نذيرٌ لكم بين يديْ عذاب شديدٍ ، فقال أبو لهب : تَبّا لك سائرَ اليومِ ، أَلهذا جمَعْتنَا ؟ فنزلت { تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ }.( سورة المسد : الآية2).
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ‘Ketika turun ayat ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat’. (QS. Asy Syu’ara : 214). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendaki Bukit Shafaa, lalu beliau menyerukan panggilan/pengumuman, “Wahai Bani Fahr, wahai Bani ‘Adii” hingga mereka berkumpul sampai-sampai jika seseorang tidak dapat hadir maka mereka mengutus seorang utusan untuk mengetahui apa yang diumumkan. Lalu Abu Lahab dan seorang Quroisy datang. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Seandainya aku mengatakan ada sekelompok pasukan berkuda di sebuah lembah yang akan menyerang kalian. Apakah kalian akan mempercayai ucapanku ?” Lalu mereka menjawab, ‘Tentu kami percaya, tidaklah keluar dari lisanmu melainkan sebuah kejujuran’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum Allah menimpakan adzab yang amat pedih”. Lalu Abu Lahab menjawab, ‘Sungguh celaka dirimu, apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau mengumpulkan kami ?’ maka turunlah ayat, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2)”(QS. Al Lahab [111] : 1-2)2.
Ibnu Katsir Rahimahullah3 menyebutkan bahwa terdapat dalam riwayat lain,
‘Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan kaum Quraisy, Abu Lahab mengangkat tangannya kemudian mengatakan, “Apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) mengumpulkan kami ?”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat,
تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (QS. Al Lahab [111] : 1).
Potongan ayat yang pertama merupakan do’a untuk Abu Lahab dan potongan ayat kedua merupakan kabar/berita bahwa demikianlah keadaan Abu Lahab.

Kelompok Paman-Paman Nabi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan4,
Paman-paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbagi tiga kelompok jika ditinjau dari cara muamalahnya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
  1. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang beriman, berjihad bersama beliau dan masuk Islam. Mereka adalah Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dan Hamzah bin ‘Abdul Muthalib Rahimahumallah. Paman beliau yang kedualah yang lebih utama jika dibandingkan yang pertama karena termasuk syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan beliau gelar ‘Asadullah (singa Allah) dan ‘Asadurasulullah (singa Rasulullah)5.
  2. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mendukung dan membela Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam walaupun masih tetap dalam kekafiran. Paman beliau tersebut adalah Abu Thalib. Abu Thalib membela dan mendukung dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam namun sangat disayangkan –wal iyyadzu billah- telah ditetapkan baginya adzab. Beliau tidak masuk Islam hingga wafatnya. Ketika menjelang wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengajak beliau masuk Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyib dari bapaknya,
    لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، فَقَالَ : أَيْ عَمِّ قُلْ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ : أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ : عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَبِي طَالِبٍ ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Ketika Abu Thalib menghadapi sakarat maut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang menemuinya. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati bahwa di samping Abu Thalib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Ummayyah bin Al Mughirah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah bagimu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umay (kepada Abu Thalib) mengatakan, ‘Apakah engkau membenci agamanya ‘Abdul Muthallib ?’ Maka tidak henti-hentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memalingkan darinya namun keduanya tetap mengulangi kalimat tersebut. Hingga akhirnya Abu Thalib mengucapkan ucapan terakhirnya dengan apa yang mereka berdua inginkan (di atas agamanya ‘Abdul Muthalib) dan enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Demi Allah aku akan memohonkan ampunan bagimu. Kemudian turunlah firman Allah Subhana wa Ta’ala,
    مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
    Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik” (QS. At Taubah [9] : 113).
    Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Thalib, Allah berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
    إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Sesungguhnya engkau wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan hidayah taufik kepada orang-orang yang engkau cintai melainkan Allahlah yang memberikan hidayah bagi yang dia kehendaki”.(QS. Al Qashash [28] : 56)6.
  3. Paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang enggan menerima risalah beliau dan tetap dalam kekafiran. Dia adalah Abu Lahab, Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan sebuah surat yang sempurna, yang dibaca dalam shalat wajib maupun sunnah, dalam shalat sirr dan jahr, orang yang membacanya akan mendapatkan pahala dan 1 huruf yang dibaca mendapat ganjaran 10 kebaikan.

Penjelasan Ayat

Ibnu Kastir Rahimahullah mengatakan, “Namanya (Abu Lahab) adalah ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdil Muthalib. Kunyahnya Abu ‘Uttaybah, disebut dengan Abu Lahab karena wajahnya yang merah”7. Lebih lanjut, gelar Abu Lahab merupakan gelar yang pas untuknya. Sisi pasnya adalah karena ia akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala yang memiliki lidah api yang dahsyat8.
Firman Allah Ta’ala,
(تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”.
(تَبَّتْ) maksudnya adalah kebinasaan dan kerugian besar, sesatlah perbuatannya dan apa yang ia kerjakan. Sedangkan (وَتَبَّ) maksudnya sungguh telah merugi/binasa dan kebinasaannya serta kehancurannya benar-benar terjadi. Allah ‘Azza wa Jalla memulai firmanNya dengan menyebutkan (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab” sebelum menyebutkan diri Abu Lahab karena tanganlah yang digunakan untuk berbuat, bekerja, mengambil sesuatu dan memberinya9.
Firman Allah Ta’ala,
(مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ)
Tidaklah berfaedah/bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.
Huruf (مَا) dalam ayat ini adalah adalah huruf (مَا) istifhamiyah/pertanyaan sehingga maknanya ‘apakah ada manfaat harta dan apa yang ia usahakan ?’ maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Huruf (مَا) juga dapat bermakna nafiyah/penolakan. Sehingga maknanya tidak bermanfaat baginya harta dan apa yang ia usahakan. Kedua makna ini saling berkaitan, harta yang dimiliki dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun baginya padahal menurut kebiasaan bahwa harta dan apa yang ia usahakan memberikan manfaat bagi pemiliknya. Walaupun demikian apa yang ia miliki tidaklah dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Sebagian ulama menafsirkan (مَا كَسَبَ) “apa yang dia usahakan” dengan anak. Sehingga maknanya “tidaklah bermanfaat baginya harta dan anaknya”. Penafsiran (مَا كَسَبَ) dengan anak adalah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
Mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka” (QS. Nuh [71] : 21)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang kalian makan adalah makan dari hasil yang kalian usahakan. Sesungguhnya anak-anak merupakan bagian dari yang kalian usahan10.
Yang lebih tepat bahwa ayat menunjukkan keumuman sehingga termasuk di dalamnya anak, harta yang diusahakan, kemuliaan dan kedudukan yang berusaha ia raih. Sehingga seluruh yang ia usahakan baik berupa kemuliaan dan kewibawaan maka itu semua tidak bermanfaat sedikitpun untuk menyelamatkannya dari neraka11.
Firman Allah Ta’ala,
(سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ)
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak”.
Huruf sin (س) pada kata (سَيَصْلَى) merupakan tanfis yang menunjukkan akan benar-benar terjadi dan dalam waktu yang dekat. Maksudnya Abu Lahab akan benar-benar dimasukkan ke neraka yang bergejolak dalam waktu yang dekat. Karena selama apapun seseorang hidup di dunia jika dibandingkan dengan akhirat maka hal itu akan sangat dekat/singkat12.
Disebutkan bahwa sebelum meninggalnya Abu Lahab diserang penyakit yang sangat akut. Penyakit tersebut adalah penyakit yang disebut (العدسة) sejenis bisul. Pada saat itu orang arab sangat menjauhi orang yang terkena penyakit ini sebagaimana mereka menjauhi orang yang terkena penyakit tha’un/pes. Sehingga ketika dia telah meninggal tidak ada seorangpun yang sanggup memandikannya hingga pada hari ketiga, anaknya mengguyur jasadnya dari kejauhan13.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala, (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) “api yang bergejolak” yaitu api yang bergejolak dan mempunyai jilatan api serta panasnya luar biasa14.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
(وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”.
Istri Abu Lahab merupakan salah seorang wanita terpandang di kalangan Quraisy*. Dia adalah Ummu Jamiil namanya Arwaa bintu Harbu bin ‘Ummayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Istri Abu Lahab ini termasuk orang yang membantunya dalam kekafiran dan penentangannya kepada risalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah dia kelak akan bersama suaminya di hari qiyamat di dalam adzab neraka jahannam15.
Firman Allah Ta’ala (حَمَّالَةَ) merupakan bentuk sighah muballaghah yang menunjukkan banyak. Disebutkan bahwa ia membawa banyak kayu berduri yang akan diletakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan tujuan untuk mengganggu beliau.
Firman Allah Ta’ala,
(فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ)
Yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Yakni dia pergi ke gurun dengan membawa tali dari sabut untuk membawa kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.16.
Jika kita lihat dengan teliti berdasarkan penafsiran di atas terlihat bertapa istri Abu Lahab ini memiliki tekad yang sangat kuat untuk menganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena ia rela mengorbankan dirinya dengan segala kehormatan yang dimilikinya17. Namun demikian ia tanggalkan semuanya demi mengganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan membantu suaminya. Diriwayatkan dari Ats Tsauriy Rahimahullah, beliau mengatakan (حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ), “Adalah kalung dari api, yang panjangnya 70 hasta”18.

Faidah Surat Al Masad19

  1. Penetapan ketentuan/hukum Allah dengan binasanya Abu Lahab, tidak terlaksananya makarnya yang ia gunakan untuk memperdayai Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
  2. Harta dan anak sama sekali tidaklah bermanfaat/mampu menyelamatkan seorang hamba dari adzab Allah jika perbuatannya mencari murka Allah dan jauh dari ridha Allah.
  3. Haramnya mengganggu seorang mukmin secara mutlak.
  4. Tidak bermanfaatnya kedekatan seseorang dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika perbuatannya adalah kekufuran dan kesyirikan, walaupun ia adalah paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Catatan Kaki
1 Kaidah tafsir tentang hal ini kami persilakan merujuk ke http://www.alhijroh.com/tafsir/kaidah-kedua/
2 HR. Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208.
3 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV terbitan Darul Fawaid, Mesir.
4 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 348-349 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
5 Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam kitab At Tarikh Al Kabir hal. 438/VIII dan Ibnu ‘Ashim dalam Al Jihad no. 249.
6 HR. Bukhori no. 3772, Muslim no. 24 dan lain-lainnya.
7 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
8 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma hal. 350.
9 Idem.
10 HR. Tirmidzi no. 2731, Ibnu Majah no. 2290 dan Ahmad no. 25335. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dan hasan lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth.
11 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 349-351.
12 Idem.
13 Lihat Aitsarut Tafaasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hal. 511/V terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.
14 Shohih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
15 Idem hal 702/IV.
16 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 351.
17 Lihat tanda (*) dalam tulisan ini.
18 Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 702/IV.
19 Lihat Aitsarut Tafaasir hal. 511/V.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3669/slash/0/ayat-terberat-untuk-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/

Artikel Muslim.Or.Id


Sababun Nuzul

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2). Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (3). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (4). Yang di lehernya ada tali dari sabut (5)”. (QS. Al Lahab [111] : 1-5).
Surat yang mulia ini memiliki sebab turunnya ayat (sababun nuzul1) dalam hadits. Yaitu terdapat dalam kitab Shahih Bukhari sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,
قال : لما نزَلتْ : { وأنْذِرْ عشِيرتَكَ الأَقْرَبِينَ } [ الشعراء : 214 ] صَعِدَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم على الصَّفا ، فجعل يُنادي : يا بني فِهْرٍ ، يا بني عدِيّ – لِبُطونِ قُريشٍ – حتى اجتمعوا. فجعل الرجلُ إذا لم يستْطِعْ أَن يخرجَ أرسل رسولا ، ليَنْظرَ ما هو ؟ فجاء أبو لهبٍ وقُريشٌ ، فقال : أرأيْتَكُم لو أخبَرْتُكم أن خَيْلا بالوادي ، تُريدُ أن تغير عليكم ، أَكُنْتمْ مُصدِّقيَّ ؟ قالوا : نعم ، ما جرَّبنا عليكَ إلا صِدقا ، قال : فإِنِّي نذيرٌ لكم بين يديْ عذاب شديدٍ ، فقال أبو لهب : تَبّا لك سائرَ اليومِ ، أَلهذا جمَعْتنَا ؟ فنزلت { تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ }.( سورة المسد : الآية2).
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ‘Ketika turun ayat ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat’. (QS. Asy Syu’ara : 214). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendaki Bukit Shafaa, lalu beliau menyerukan panggilan/pengumuman, “Wahai Bani Fahr, wahai Bani ‘Adii” hingga mereka berkumpul sampai-sampai jika seseorang tidak dapat hadir maka mereka mengutus seorang utusan untuk mengetahui apa yang diumumkan. Lalu Abu Lahab dan seorang Quroisy datang. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Seandainya aku mengatakan ada sekelompok pasukan berkuda di sebuah lembah yang akan menyerang kalian. Apakah kalian akan mempercayai ucapanku ?” Lalu mereka menjawab, ‘Tentu kami percaya, tidaklah keluar dari lisanmu melainkan sebuah kejujuran’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum Allah menimpakan adzab yang amat pedih”. Lalu Abu Lahab menjawab, ‘Sungguh celaka dirimu, apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau mengumpulkan kami ?’ maka turunlah ayat, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2)”(QS. Al Lahab [111] : 1-2)2.
Ibnu Katsir Rahimahullah3 menyebutkan bahwa terdapat dalam riwayat lain,
‘Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan kaum Quraisy, Abu Lahab mengangkat tangannya kemudian mengatakan, “Apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) mengumpulkan kami ?”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat,
تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (QS. Al Lahab [111] : 1).
Potongan ayat yang pertama merupakan do’a untuk Abu Lahab dan potongan ayat kedua merupakan kabar/berita bahwa demikianlah keadaan Abu Lahab.

Kelompok Paman-Paman Nabi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan4,
Paman-paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbagi tiga kelompok jika ditinjau dari cara muamalahnya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
  1. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang beriman, berjihad bersama beliau dan masuk Islam. Mereka adalah Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dan Hamzah bin ‘Abdul Muthalib Rahimahumallah. Paman beliau yang kedualah yang lebih utama jika dibandingkan yang pertama karena termasuk syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan beliau gelar ‘Asadullah (singa Allah) dan ‘Asadurasulullah (singa Rasulullah)5.
  2. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mendukung dan membela Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam walaupun masih tetap dalam kekafiran. Paman beliau tersebut adalah Abu Thalib. Abu Thalib membela dan mendukung dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam namun sangat disayangkan –wal iyyadzu billah- telah ditetapkan baginya adzab. Beliau tidak masuk Islam hingga wafatnya. Ketika menjelang wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengajak beliau masuk Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyib dari bapaknya,
    لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، فَقَالَ : أَيْ عَمِّ قُلْ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ : أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ : عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَبِي طَالِبٍ ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Ketika Abu Thalib menghadapi sakarat maut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang menemuinya. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati bahwa di samping Abu Thalib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Ummayyah bin Al Mughirah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah bagimu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umay (kepada Abu Thalib) mengatakan, ‘Apakah engkau membenci agamanya ‘Abdul Muthallib ?’ Maka tidak henti-hentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memalingkan darinya namun keduanya tetap mengulangi kalimat tersebut. Hingga akhirnya Abu Thalib mengucapkan ucapan terakhirnya dengan apa yang mereka berdua inginkan (di atas agamanya ‘Abdul Muthalib) dan enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Demi Allah aku akan memohonkan ampunan bagimu. Kemudian turunlah firman Allah Subhana wa Ta’ala,
    مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
    Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik” (QS. At Taubah [9] : 113).
    Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Thalib, Allah berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
    إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Sesungguhnya engkau wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan hidayah taufik kepada orang-orang yang engkau cintai melainkan Allahlah yang memberikan hidayah bagi yang dia kehendaki”.(QS. Al Qashash [28] : 56)6.
  3. Paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang enggan menerima risalah beliau dan tetap dalam kekafiran. Dia adalah Abu Lahab, Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan sebuah surat yang sempurna, yang dibaca dalam shalat wajib maupun sunnah, dalam shalat sirr dan jahr, orang yang membacanya akan mendapatkan pahala dan 1 huruf yang dibaca mendapat ganjaran 10 kebaikan.

Penjelasan Ayat

Ibnu Kastir Rahimahullah mengatakan, “Namanya (Abu Lahab) adalah ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdil Muthalib. Kunyahnya Abu ‘Uttaybah, disebut dengan Abu Lahab karena wajahnya yang merah”7. Lebih lanjut, gelar Abu Lahab merupakan gelar yang pas untuknya. Sisi pasnya adalah karena ia akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala yang memiliki lidah api yang dahsyat8.
Firman Allah Ta’ala,
(تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”.
(تَبَّتْ) maksudnya adalah kebinasaan dan kerugian besar, sesatlah perbuatannya dan apa yang ia kerjakan. Sedangkan (وَتَبَّ) maksudnya sungguh telah merugi/binasa dan kebinasaannya serta kehancurannya benar-benar terjadi. Allah ‘Azza wa Jalla memulai firmanNya dengan menyebutkan (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab” sebelum menyebutkan diri Abu Lahab karena tanganlah yang digunakan untuk berbuat, bekerja, mengambil sesuatu dan memberinya9.
Firman Allah Ta’ala,
(مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ)
Tidaklah berfaedah/bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.
Huruf (مَا) dalam ayat ini adalah adalah huruf (مَا) istifhamiyah/pertanyaan sehingga maknanya ‘apakah ada manfaat harta dan apa yang ia usahakan ?’ maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Huruf (مَا) juga dapat bermakna nafiyah/penolakan. Sehingga maknanya tidak bermanfaat baginya harta dan apa yang ia usahakan. Kedua makna ini saling berkaitan, harta yang dimiliki dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun baginya padahal menurut kebiasaan bahwa harta dan apa yang ia usahakan memberikan manfaat bagi pemiliknya. Walaupun demikian apa yang ia miliki tidaklah dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Sebagian ulama menafsirkan (مَا كَسَبَ) “apa yang dia usahakan” dengan anak. Sehingga maknanya “tidaklah bermanfaat baginya harta dan anaknya”. Penafsiran (مَا كَسَبَ) dengan anak adalah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
Mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka” (QS. Nuh [71] : 21)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang kalian makan adalah makan dari hasil yang kalian usahakan. Sesungguhnya anak-anak merupakan bagian dari yang kalian usahan10.
Yang lebih tepat bahwa ayat menunjukkan keumuman sehingga termasuk di dalamnya anak, harta yang diusahakan, kemuliaan dan kedudukan yang berusaha ia raih. Sehingga seluruh yang ia usahakan baik berupa kemuliaan dan kewibawaan maka itu semua tidak bermanfaat sedikitpun untuk menyelamatkannya dari neraka11.
Firman Allah Ta’ala,
(سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ)
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak”.
Huruf sin (س) pada kata (سَيَصْلَى) merupakan tanfis yang menunjukkan akan benar-benar terjadi dan dalam waktu yang dekat. Maksudnya Abu Lahab akan benar-benar dimasukkan ke neraka yang bergejolak dalam waktu yang dekat. Karena selama apapun seseorang hidup di dunia jika dibandingkan dengan akhirat maka hal itu akan sangat dekat/singkat12.
Disebutkan bahwa sebelum meninggalnya Abu Lahab diserang penyakit yang sangat akut. Penyakit tersebut adalah penyakit yang disebut (العدسة) sejenis bisul. Pada saat itu orang arab sangat menjauhi orang yang terkena penyakit ini sebagaimana mereka menjauhi orang yang terkena penyakit tha’un/pes. Sehingga ketika dia telah meninggal tidak ada seorangpun yang sanggup memandikannya hingga pada hari ketiga, anaknya mengguyur jasadnya dari kejauhan13.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala, (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) “api yang bergejolak” yaitu api yang bergejolak dan mempunyai jilatan api serta panasnya luar biasa14.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
(وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”.
Istri Abu Lahab merupakan salah seorang wanita terpandang di kalangan Quraisy*. Dia adalah Ummu Jamiil namanya Arwaa bintu Harbu bin ‘Ummayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Istri Abu Lahab ini termasuk orang yang membantunya dalam kekafiran dan penentangannya kepada risalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah dia kelak akan bersama suaminya di hari qiyamat di dalam adzab neraka jahannam15.
Firman Allah Ta’ala (حَمَّالَةَ) merupakan bentuk sighah muballaghah yang menunjukkan banyak. Disebutkan bahwa ia membawa banyak kayu berduri yang akan diletakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan tujuan untuk mengganggu beliau.
Firman Allah Ta’ala,
(فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ)
Yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Yakni dia pergi ke gurun dengan membawa tali dari sabut untuk membawa kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.16.
Jika kita lihat dengan teliti berdasarkan penafsiran di atas terlihat bertapa istri Abu Lahab ini memiliki tekad yang sangat kuat untuk menganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena ia rela mengorbankan dirinya dengan segala kehormatan yang dimilikinya17. Namun demikian ia tanggalkan semuanya demi mengganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan membantu suaminya. Diriwayatkan dari Ats Tsauriy Rahimahullah, beliau mengatakan (حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ), “Adalah kalung dari api, yang panjangnya 70 hasta”18.

Faidah Surat Al Masad19

  1. Penetapan ketentuan/hukum Allah dengan binasanya Abu Lahab, tidak terlaksananya makarnya yang ia gunakan untuk memperdayai Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
  2. Harta dan anak sama sekali tidaklah bermanfaat/mampu menyelamatkan seorang hamba dari adzab Allah jika perbuatannya mencari murka Allah dan jauh dari ridha Allah.
  3. Haramnya mengganggu seorang mukmin secara mutlak.
  4. Tidak bermanfaatnya kedekatan seseorang dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika perbuatannya adalah kekufuran dan kesyirikan, walaupun ia adalah paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Catatan Kaki
1 Kaidah tafsir tentang hal ini kami persilakan merujuk ke http://www.alhijroh.com/tafsir/kaidah-kedua/
2 HR. Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208.
3 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV terbitan Darul Fawaid, Mesir.
4 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 348-349 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
5 Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam kitab At Tarikh Al Kabir hal. 438/VIII dan Ibnu ‘Ashim dalam Al Jihad no. 249.
6 HR. Bukhori no. 3772, Muslim no. 24 dan lain-lainnya.
7 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
8 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma hal. 350.
9 Idem.
10 HR. Tirmidzi no. 2731, Ibnu Majah no. 2290 dan Ahmad no. 25335. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dan hasan lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth.
11 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 349-351.
12 Idem.
13 Lihat Aitsarut Tafaasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hal. 511/V terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.
14 Shohih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
15 Idem hal 702/IV.
16 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 351.
17 Lihat tanda (*) dalam tulisan ini.
18 Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 702/IV.
19 Lihat Aitsarut Tafaasir hal. 511/V.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel Muslim.Or.Id

Sababun Nuzul

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2). Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (3). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (4). Yang di lehernya ada tali dari sabut (5)”. (QS. Al Lahab [111] : 1-5).
Surat yang mulia ini memiliki sebab turunnya ayat (sababun nuzul1) dalam hadits. Yaitu terdapat dalam kitab Shahih Bukhari sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,
قال : لما نزَلتْ : { وأنْذِرْ عشِيرتَكَ الأَقْرَبِينَ } [ الشعراء : 214 ] صَعِدَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم على الصَّفا ، فجعل يُنادي : يا بني فِهْرٍ ، يا بني عدِيّ – لِبُطونِ قُريشٍ – حتى اجتمعوا. فجعل الرجلُ إذا لم يستْطِعْ أَن يخرجَ أرسل رسولا ، ليَنْظرَ ما هو ؟ فجاء أبو لهبٍ وقُريشٌ ، فقال : أرأيْتَكُم لو أخبَرْتُكم أن خَيْلا بالوادي ، تُريدُ أن تغير عليكم ، أَكُنْتمْ مُصدِّقيَّ ؟ قالوا : نعم ، ما جرَّبنا عليكَ إلا صِدقا ، قال : فإِنِّي نذيرٌ لكم بين يديْ عذاب شديدٍ ، فقال أبو لهب : تَبّا لك سائرَ اليومِ ، أَلهذا جمَعْتنَا ؟ فنزلت { تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ }.( سورة المسد : الآية2).
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ‘Ketika turun ayat ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat’. (QS. Asy Syu’ara : 214). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendaki Bukit Shafaa, lalu beliau menyerukan panggilan/pengumuman, “Wahai Bani Fahr, wahai Bani ‘Adii” hingga mereka berkumpul sampai-sampai jika seseorang tidak dapat hadir maka mereka mengutus seorang utusan untuk mengetahui apa yang diumumkan. Lalu Abu Lahab dan seorang Quroisy datang. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Seandainya aku mengatakan ada sekelompok pasukan berkuda di sebuah lembah yang akan menyerang kalian. Apakah kalian akan mempercayai ucapanku ?” Lalu mereka menjawab, ‘Tentu kami percaya, tidaklah keluar dari lisanmu melainkan sebuah kejujuran’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum Allah menimpakan adzab yang amat pedih”. Lalu Abu Lahab menjawab, ‘Sungguh celaka dirimu, apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau mengumpulkan kami ?’ maka turunlah ayat, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2)”(QS. Al Lahab [111] : 1-2)2.
Ibnu Katsir Rahimahullah3 menyebutkan bahwa terdapat dalam riwayat lain,
‘Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan kaum Quraisy, Abu Lahab mengangkat tangannya kemudian mengatakan, “Apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) mengumpulkan kami ?”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat,
تَبَّتْ يدَا أبي لهبٍ وتبَّ ، ما أغني عنه مالُه وما كَسَبَ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (QS. Al Lahab [111] : 1).
Potongan ayat yang pertama merupakan do’a untuk Abu Lahab dan potongan ayat kedua merupakan kabar/berita bahwa demikianlah keadaan Abu Lahab.

Kelompok Paman-Paman Nabi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan4,
Paman-paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbagi tiga kelompok jika ditinjau dari cara muamalahnya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
  1. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang beriman, berjihad bersama beliau dan masuk Islam. Mereka adalah Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dan Hamzah bin ‘Abdul Muthalib Rahimahumallah. Paman beliau yang kedualah yang lebih utama jika dibandingkan yang pertama karena termasuk syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan beliau gelar ‘Asadullah (singa Allah) dan ‘Asadurasulullah (singa Rasulullah)5.
  2. Paman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mendukung dan membela Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam walaupun masih tetap dalam kekafiran. Paman beliau tersebut adalah Abu Thalib. Abu Thalib membela dan mendukung dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam namun sangat disayangkan –wal iyyadzu billah- telah ditetapkan baginya adzab. Beliau tidak masuk Islam hingga wafatnya. Ketika menjelang wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengajak beliau masuk Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyib dari bapaknya,
    لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، فَقَالَ : أَيْ عَمِّ قُلْ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ : أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ : عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَبِي طَالِبٍ ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Ketika Abu Thalib menghadapi sakarat maut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang menemuinya. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati bahwa di samping Abu Thalib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Ummayyah bin Al Mughirah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah bagimu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umay (kepada Abu Thalib) mengatakan, ‘Apakah engkau membenci agamanya ‘Abdul Muthallib ?’ Maka tidak henti-hentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memalingkan darinya namun keduanya tetap mengulangi kalimat tersebut. Hingga akhirnya Abu Thalib mengucapkan ucapan terakhirnya dengan apa yang mereka berdua inginkan (di atas agamanya ‘Abdul Muthalib) dan enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Demi Allah aku akan memohonkan ampunan bagimu. Kemudian turunlah firman Allah Subhana wa Ta’ala,
    مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
    Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik” (QS. At Taubah [9] : 113).
    Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Thalib, Allah berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
    إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
    Sesungguhnya engkau wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan hidayah taufik kepada orang-orang yang engkau cintai melainkan Allahlah yang memberikan hidayah bagi yang dia kehendaki”.(QS. Al Qashash [28] : 56)6.
  3. Paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang enggan menerima risalah beliau dan tetap dalam kekafiran. Dia adalah Abu Lahab, Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan sebuah surat yang sempurna, yang dibaca dalam shalat wajib maupun sunnah, dalam shalat sirr dan jahr, orang yang membacanya akan mendapatkan pahala dan 1 huruf yang dibaca mendapat ganjaran 10 kebaikan.

Penjelasan Ayat

Ibnu Kastir Rahimahullah mengatakan, “Namanya (Abu Lahab) adalah ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdil Muthalib. Kunyahnya Abu ‘Uttaybah, disebut dengan Abu Lahab karena wajahnya yang merah”7. Lebih lanjut, gelar Abu Lahab merupakan gelar yang pas untuknya. Sisi pasnya adalah karena ia akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala yang memiliki lidah api yang dahsyat8.
Firman Allah Ta’ala,
(تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”.
(تَبَّتْ) maksudnya adalah kebinasaan dan kerugian besar, sesatlah perbuatannya dan apa yang ia kerjakan. Sedangkan (وَتَبَّ) maksudnya sungguh telah merugi/binasa dan kebinasaannya serta kehancurannya benar-benar terjadi. Allah ‘Azza wa Jalla memulai firmanNya dengan menyebutkan (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab” sebelum menyebutkan diri Abu Lahab karena tanganlah yang digunakan untuk berbuat, bekerja, mengambil sesuatu dan memberinya9.
Firman Allah Ta’ala,
(مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ)
Tidaklah berfaedah/bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.
Huruf (مَا) dalam ayat ini adalah adalah huruf (مَا) istifhamiyah/pertanyaan sehingga maknanya ‘apakah ada manfaat harta dan apa yang ia usahakan ?’ maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Huruf (مَا) juga dapat bermakna nafiyah/penolakan. Sehingga maknanya tidak bermanfaat baginya harta dan apa yang ia usahakan. Kedua makna ini saling berkaitan, harta yang dimiliki dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun baginya padahal menurut kebiasaan bahwa harta dan apa yang ia usahakan memberikan manfaat bagi pemiliknya. Walaupun demikian apa yang ia miliki tidaklah dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Sebagian ulama menafsirkan (مَا كَسَبَ) “apa yang dia usahakan” dengan anak. Sehingga maknanya “tidaklah bermanfaat baginya harta dan anaknya”. Penafsiran (مَا كَسَبَ) dengan anak adalah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
Mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka” (QS. Nuh [71] : 21)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang kalian makan adalah makan dari hasil yang kalian usahakan. Sesungguhnya anak-anak merupakan bagian dari yang kalian usahan10.
Yang lebih tepat bahwa ayat menunjukkan keumuman sehingga termasuk di dalamnya anak, harta yang diusahakan, kemuliaan dan kedudukan yang berusaha ia raih. Sehingga seluruh yang ia usahakan baik berupa kemuliaan dan kewibawaan maka itu semua tidak bermanfaat sedikitpun untuk menyelamatkannya dari neraka11.
Firman Allah Ta’ala,
(سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ)
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak”.
Huruf sin (س) pada kata (سَيَصْلَى) merupakan tanfis yang menunjukkan akan benar-benar terjadi dan dalam waktu yang dekat. Maksudnya Abu Lahab akan benar-benar dimasukkan ke neraka yang bergejolak dalam waktu yang dekat. Karena selama apapun seseorang hidup di dunia jika dibandingkan dengan akhirat maka hal itu akan sangat dekat/singkat12.
Disebutkan bahwa sebelum meninggalnya Abu Lahab diserang penyakit yang sangat akut. Penyakit tersebut adalah penyakit yang disebut (العدسة) sejenis bisul. Pada saat itu orang arab sangat menjauhi orang yang terkena penyakit ini sebagaimana mereka menjauhi orang yang terkena penyakit tha’un/pes. Sehingga ketika dia telah meninggal tidak ada seorangpun yang sanggup memandikannya hingga pada hari ketiga, anaknya mengguyur jasadnya dari kejauhan13.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala, (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) “api yang bergejolak” yaitu api yang bergejolak dan mempunyai jilatan api serta panasnya luar biasa14.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
(وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”.
Istri Abu Lahab merupakan salah seorang wanita terpandang di kalangan Quraisy*. Dia adalah Ummu Jamiil namanya Arwaa bintu Harbu bin ‘Ummayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Istri Abu Lahab ini termasuk orang yang membantunya dalam kekafiran dan penentangannya kepada risalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah dia kelak akan bersama suaminya di hari qiyamat di dalam adzab neraka jahannam15.
Firman Allah Ta’ala (حَمَّالَةَ) merupakan bentuk sighah muballaghah yang menunjukkan banyak. Disebutkan bahwa ia membawa banyak kayu berduri yang akan diletakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan tujuan untuk mengganggu beliau.
Firman Allah Ta’ala,
(فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ)
Yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Yakni dia pergi ke gurun dengan membawa tali dari sabut untuk membawa kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.16.
Jika kita lihat dengan teliti berdasarkan penafsiran di atas terlihat bertapa istri Abu Lahab ini memiliki tekad yang sangat kuat untuk menganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena ia rela mengorbankan dirinya dengan segala kehormatan yang dimilikinya17. Namun demikian ia tanggalkan semuanya demi mengganggu dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan membantu suaminya. Diriwayatkan dari Ats Tsauriy Rahimahullah, beliau mengatakan (حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ), “Adalah kalung dari api, yang panjangnya 70 hasta”18.

Faidah Surat Al Masad19

  1. Penetapan ketentuan/hukum Allah dengan binasanya Abu Lahab, tidak terlaksananya makarnya yang ia gunakan untuk memperdayai Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
  2. Harta dan anak sama sekali tidaklah bermanfaat/mampu menyelamatkan seorang hamba dari adzab Allah jika perbuatannya mencari murka Allah dan jauh dari ridha Allah.
  3. Haramnya mengganggu seorang mukmin secara mutlak.
  4. Tidak bermanfaatnya kedekatan seseorang dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika perbuatannya adalah kekufuran dan kesyirikan, walaupun ia adalah paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Catatan Kaki
1 Kaidah tafsir tentang hal ini kami persilakan merujuk ke http://www.alhijroh.com/tafsir/kaidah-kedua/
2 HR. Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208.
3 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV terbitan Darul Fawaid, Mesir.
4 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 348-349 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
5 Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam kitab At Tarikh Al Kabir hal. 438/VIII dan Ibnu ‘Ashim dalam Al Jihad no. 249.
6 HR. Bukhori no. 3772, Muslim no. 24 dan lain-lainnya.
7 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
8 Lihat Tafsir Juzz ‘Amma hal. 350.
9 Idem.
10 HR. Tirmidzi no. 2731, Ibnu Majah no. 2290 dan Ahmad no. 25335. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dan hasan lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth.
11 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 349-351.
12 Idem.
13 Lihat Aitsarut Tafaasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hal. 511/V terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.
14 Shohih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
15 Idem hal 702/IV.
16 Tafsir Juzz ‘Amma hal. 351.
17 Lihat tanda (*) dalam tulisan ini.
18 Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 702/IV.
19 Lihat Aitsarut Tafaasir hal. 511/V.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel Muslim.Or.Id

0 comments:

Post a Comment