Islam
Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawarah
Wednesday, July 31, 2013
Monday, July 29, 2013
VCD Cinta Shalat Cinta Al Qur'an
VCD Cinta Shalat Cinta Al Qur'an
Harga Rp 25.000.-
Produksi : Ncrproduction
Hai teman - teman, kalian sudah bisa melaksanakan shalat dan lancar membaca dan mengkaji al - quran kan? Kalau belum, syamil dan nadia ingin mengajak teman - teman melihat apa saja yang diceritakan dalam alquran ,shalat di masjid, juga berdoa lewat cerita dan lagu. Selain senang, riang dan menyenangkan, kita juga akam bertambah mengerti tentang shalat, islam dan alqur'an.
Hai teman - teman, kalian sudah bisa melaksanakan shalat dan lancar membaca dan mengkaji al - quran kan? Kalau belum, syamil dan nadia ingin mengajak teman - teman melihat apa saja yang diceritakan dalam alquran ,shalat di masjid, juga berdoa lewat cerita dan lagu. Selain senang, riang dan menyenangkan, kita juga akam bertambah mengerti tentang shalat, islam dan alqur'an.
Isi:
1. Shalat 5 waktu
2. Shalat di Masjid
3. Rajin membaca alqur'an
4. Kerlip Bintang
5. Siapa yang Menciptakan
6. Semua Ada dalam Alqur'an
7. Thalaal Badru
8. Shalawat
9. Doaku
10. Astaghfirullah
1. Shalat 5 waktu
2. Shalat di Masjid
3. Rajin membaca alqur'an
4. Kerlip Bintang
5. Siapa yang Menciptakan
6. Semua Ada dalam Alqur'an
7. Thalaal Badru
8. Shalawat
9. Doaku
10. Astaghfirullah
Riba dan Bunga Bank itu Haram
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
“Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika
itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung itu akan
terkena debunya” (HR Nasai no 4455, namun dinilai dhaif oleh al Albani).
Meski secara sanad hadits di atas adalah hadits yang lemah namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar dan zaman tersebut pun telah tiba.
Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi komsumsi
publik bahkan suatu yang mendarah daging di tengah banyak kalangan.
Padahal ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang riba
sungguh mengerikan bagi orang yang masih memiliki iman kepada Allah dan
hari akhir.
عَنْ
عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:”إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ،
فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا
فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا
يَتَخَبَّطُ”
Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah
dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul
(baca:korupsi), barang siapa yang mengambil harta melalui jalan khianat
maka harta tersebut akan didatangkan pada hari Kiamat nanti. Demikian
pula pemakan harta riba. Barang siapa yang memakan harta riba maka dia
akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti dalam keadaan gila dan berjalan
sempoyongan” (HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 110 dan dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib no 1862).
Berdasarkan hadits tersebut maka pelaku riba itu telah menghalangi dirinya sendiri dari ampunan Allah.
Makna hadits di atas bukanlah menunjukkan bahwa orang yang memakan riba meski sudah bertaubat tetap tidak akan diampuni oleh Allah. Akan tetapi maksudnya adalah menunjukkan tentang betapa besar dan ngerinya dosa memakan riba.
Umat Islam bersepakat berdasarkan berbagai dalil dari al Qur’an dan
sunnah bahwa orang yang bertaubat dari dosa maka Allah akan menerima
taubatnya baik dosa tersebut adalah dosa kecil maupun dosa besar.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى
عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلاَلِهِمُ الْمَحَارِمَ وَاتِّخَاذِهِمُ
الْقَيْنَاتِ وَشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَلُبْسِهِمُ
الْحَرِيرَ ».
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh ada sejumlah
orang dari umatku yang menghabiskan waktu malamnya dengan pesta pora
dengan penuh kesombongan, permainan yang melalaikan lalu pagi harinya
mereka telah berubah menjadi kera dan babi. Hal ini disebabkan mereka
menghalalkan berbagai yang haram, mendengarkan para penyanyi, meminum
khamr, memakan riba dan memakai sutra” (HR Abdullah bin Imam Ahmad dalam
Zawaid al Musnad [Musnad Imam Ahmad no 23483], dinilai hasan li
ghairihi oleh Al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib no 1864).
Pada saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ
كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ
وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ
دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِى
بَنِى سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ
وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
“Ingatlah, segala perkara jahiliah itu terletak di bawah kedua
telapak kakiku. Semua kasus pembunuhan di masa jahiliah itu sudah
dihapuskan. Kasus pembunuhan yang pertama kali kuhapus adalah pembunuhan
terhadap Ibnu Rabi’ah bin al Harits. Dulu dia disusui oleh salah
seorang Bani Saad lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba jahilaih juga telah
dihapus. Riba yang pertama kali kuhapus adalah riba yang dilakukan oleh
Abbas bin Abdil Muthallib. Sungguh semuanya telah dihapus” (HR Muslim
3009 dari Jabir bin Abdillah).
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa riba itu berada di bawah telapak kaki beliau untuk menunjukkan
betapa rendah dan hinanya pelaku riba dan riba juga dinilai oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perkara jahiliah.
عَنْ
سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – « رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ،
فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى
أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ
النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ
الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى
الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا
جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ،
فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ
الرِّبَا »
Dari Samurah bin Jundab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semalam aku bermimpi ada dua orang yang datang lalu keduanya
mengajakku pergi ke sebuah tanah yang suci. Kami berangkat sehingga kami
sampai di sebuah sungai berisi darah. Di tepi sungai tersebut terdapat
seorang yang berdiri. Di hadapannya terdapat batu. Di tengah sungai ada
seorang yang sedang berenang. Orang yang berada di tepi sungai
memandangi orang yang berenang di sungai. Jika orang yang berenang
tersebut ingin keluar maka orang yang berada di tepi sungai melemparkan
batu ke arah mulutnya. Akhirnya orang tersebut kembali ke posisinya
semula. Setiap kali orang tersebut ingin keluar dari sungai maka orang
yang di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya sehingga dia
kembali ke posisinya semula di tengah sungai. Kukatakan, “Siapakah orang tersebut?”. Salah satu malaikat menjawab, “Yang kau lihat berada di tengah sungai adalah pemakan riba” (HR Bukhari no 1979).
Dalam hadits di atas jelas sekali betapa kerasnya hukuman bagi
pemakan riba sementara ketika di dunia dia mengira bahwa dirinya
bergelimang kenikmatan.
Akhirnya seluruh umat Islam beserta segenap ulamanya baik yang
terdahulu ataupun yang datang kemudian telah sepakat bahwa riba adalah haram. Mereka juga menegaskan bahwa bunga bank dan yang semisal dengannya adalah haram.
Mereka juga sepakat bahwa siapa saja yang menghalalkan riba maka dia
kafir. Sedangkan siapa saja yang melakukan transaksi riba namun masih
memiliki keyakinan bahwa riba itu haram maka dia telah melakukan dosa
besar, orang yang fasik dan berani memerangi Allah dan rasulNya.
Para ulama telah menetapkan haramnya bunga yang telah dipatok di awal
transaksi misal 3%, 5% dan seterusnya. Para ulama telah membantah
orang-orang yang menghalalkan bunga bank dan merontokkan
argument-argumen mereka secara total. Tidak ada beda antara bunga dalam jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar. Semuanya adalah riba yang diharamkan.
Hanya Allah yang memberi taufik.
http://ustadzaris.com/riba-dan-bunga-bank-itu-haram
THE CHOICE
Rincian Product
Judul | : | THE CHOICE |
Penulis | : | Ahmed Deedat |
No ISBN | : | 979-592-118-5 |
Kategori | : | Refensi Akidah & Tauhid |
Cover | : | Hard Cover |
Isi | : | xxx + 490 h |
Ukuran | : | 13.5 x 21 cm |
Berat | : | 1000 gr |
Harga | : | Rp 77.000,00 |
Diskon | : | 30 % |
Harga Netto | : | Rp 53.900,00 |
THE CHOICE
Ahmed Deedat
merupakan dai dan kristolog terkemuka dunia, melalui tangannya sudah
ribuan orang yang menjadi muslim. Bagi tokoh – tokoh Nasrani
Internasional, baik yang suka maupun yang membecinya, begitu heran akan
kemampuan Ahmed Deedat dalam menangkap pesan-pesan ajaran Islam dan
Kristen.Bahkan kemampuan memahami Bibel jauh di atas pendeta sekalipun.
Tidak Heran di pentas perdebatan teologi
Islam dan Kristen, Nama Ahmed Deedat menjaidi paling terkemuka. Padahal
Deedat hanya seorang imigran yang miskindari India, yang kemudian
menjadi warga kelasdua di negeri Afrika Selatan yang kala itu masih
rasialis. Dalam karya terbesarnya ini, THE CHOICE , Ahmed Deedat
berhasil memperoleh penghargaan dari King Faishal Award, semacam hadiah
Nobel dari Pemerintah Saudi Arabia.
Buku ini pula telah sukses dan beredar
luas di berbagai benua dan telah di cetak puluhan kali dengan oplah
ratusan ribu hingga jutaan eksemplar.
======================
- See more at: http://www.al-fauzan.com/p/cara-belanja.html#sthash.Ijp0r6W0.dpuf
:. GRATIS ONGKOS KIRIM UNTUK WILAYAH SURAKARTA DAN SEKITARNYA
======================
Pemesanan dapat dilakukan dengan cara:
SMS dapat dikirim ke no HP sbb :
- 0856-4745-2369
- 0896-6520-1353
- 0878-0486-6753
- 0896-6520-1353
- 0878-0486-6753
- 0813-3563-9581
an. Mukhsin Zainuri
Wasap dapat dikirim ke no HP sbb :
- 0856-4745-2369 an. Mukhsin Zainuri
- 087-83683-7227 an. Ghulam Fathul Amri
- 087-83683-7227 an. Ghulam Fathul Amri
BBM dapat dikirim ke no PIN sbb :
- 72FB27F0 an. Ghulam Fathul Amri
Telpon/SMS ke:
0813-3563-9581 (Simpati);
0856-4745-2369 (M3);
0896-6520-1353 (Tri);
0878-0486-6753 (XL);
an. Muhsin Zainuri
Wasap ke:
0856-4745-2369 (M3) an. Muhsin Zainuri;
0878-0486-6753 (XL) an. Ghulam Fathul amri;
Blackberry Messenger (BBM) ke:
PIN: 27FB72F0 an. Ghulam Fathul amri
Email ke:
tokoalfauzan1@yahoo.com
sales@al-fauzan.com
Seputar Hukum Shalat Jama Dan Qashar
Minggu, 6 Februari 2005 19:28:30 WIB
SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR
Oleh
Abdullah Shaleh Al-Hadrami
MAKNA DAN HUKUM QASHAR.
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.[1]
Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama).[2]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"[An-Nisaa'/4: 101]
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut.[3]
"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar"[4]
"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at"[5]
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."[Al-Ahzaab/33 : 21][6]
Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]
JARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN MENGQASHAR.
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas.[8]
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.[9]
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka'at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" [11]
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.[12]
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.[13]
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.[14]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut.[15]
SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21][17]
Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]
JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]
Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]
Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan."[25]
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]
MENJAMA'JUM'AT DENGAN ASHAR.
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27]
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama' (menggabungnya) dengan shalat lain.[29]
JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR.
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wa sallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31] Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32] Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33]
MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.
Shalat berjama'ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasalla”[34]
MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[36]
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]
SHALAT JUM'AT BAGI MUSAFIR.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya.[41]
Wallahu A'lam dan Semoga Bermanfaat.
[Disalin dari tulisan yang disusun oleh Abdullah Shaleh Al-Hadrami, beliau adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi pengajaran di kota Malang, Jawa Timur]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.
[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467
[6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138.
[7]. HR. Bukhari dan Muslim.
[8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.
[9]. Lihat Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.
[10]. Al-Wajiz, Abdul ¡¥Adhim Al-Khalafi 138
[11]. HR. Bukhari, Muslim dll.
[12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih.
[13] HR. Bukhari dll
[14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih
[15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.
[16]. HR. Bukhari dan Muslim.
[17]. HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254.
[18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308.
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317.
[22]. HR. Bukhari dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.
[27]. HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718.
[28]. HR. Muslim.
[29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378
[30]. Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani.
[31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.
[32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa'ul Ghalil no
571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317
[35]. HR. Abu Dawud..
[36]. Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269
[37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al- Bassam 2/294-295
[38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39].Lihat Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.
[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216
http://almanhaj.or.id/content/1336/slash/0/seputar-hukum-shalat-jama-dan-qashar/
SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
Shalat jama’
maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti
melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu
dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan
Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan
di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat
yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh.
Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan
shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya
meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat
Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak
bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah , sebagaimana firman-Nya, ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah yang disuruh oleh Rasulullah untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Shalat Jama’
lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’
shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga
dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir
yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam
keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits
Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya
Rasulullah
menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di
Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan
musafir”.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215,
dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan
menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang
sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai
tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin,
Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu
Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’
shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para
sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir.
Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi.
Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang
membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas
jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama.
Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat
adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut
kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau
ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir
baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir
mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar
shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas
menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).
Seorang yang
menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya
begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya
dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat
diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini
lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan.
Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama
ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun
demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika
ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk.
Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar
shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah.
Menurut Jumhur
(mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama
musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar
shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh
mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan
menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum
menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa
kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan
oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai
sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari
beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena
ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami
ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan
mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang
melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat
kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir
tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat
kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat
Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh
saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar.
Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal
karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah .
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim
(tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang
muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus
mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak
mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya
salam.
Dan sunah bagi
musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah
dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena
Rasulullah
selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu
juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul
Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Wallahu a’lam bis Shawaab
Referensi :
Fatawa As-Sholat, Syeikh Abd. Aziz bin Baz
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abd. Adhim bin Badawi Al-Khalafi
http://abusalma.wordpress.com/2006/12/04/shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/
Sunday, July 28, 2013
Jika Tertinggal Shalat Tawarih Dan Belum Shalat Isya
[Jika Tertinggal Shalat Tawarih Dan Belum Shalat Isya]
Terkadang dengan kesibukan bisa jadi kita tertinggal shalat tarwaih dan
belum shalata isya. Misalnya tenaga kesehatan yang harus menjaga
pasien, tenaga keamanan yang harus berjaga-jaga dan berbagai keperluan
penting darurat lainnya yang tidak bisa ditinggalkan.
Jika tertinggal shalat tarawih dan belum shalat isya
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata,
إذا فاتتك صلاة العشاء ، وجئت والإمام يصلي التراويح ، فالأولى أن تدخل
خلفه بنية العشاء ، فإذا سلم أتممت صلاتك ، ولا تصل منفردا ، ولا مع جماعة
أخرى ، حتى لا تقام جماعتان في وقت واحد فيحصل بذلك تشويش وتداخل في
الأصوات
Jika engkau tertinggal shalat isya, ketika engkau
datang imam sedang shalat tarawih maka hendaknya engkau ikut shalat
bersama imam dengan niat shalat isya. Jika imam telah salam (selesai
shalat) engkau sempurnakan shalat isya (misalnya anda dapat shalat dua
rakaat besama imam, maka anda tidak ikut salam bersama imam, bangkit dan
sempurnakan dua rakaat lagi sendiri untuk menyelesaikan shalat isya,
jika sudah anda bergabung lagi untuk shalat tarawih bersama imam, pent).
Janganlan engkau shalat (isya’) sendiri dan jangan dengan jama’ah yang
lain agar tidak didirikan dua jamaah shalat dalam satu waktu. Karena
bisa membuat was-was dan campur aduknya suara.
selengkapnya:
http://muslimafiyah.com/ jika-tertinggal-shalat-tawarih- dan-belum-shalat-isya.html
Info Kajian Jogja: Memahami Zakat
# Info Kajian Jogja: Memahami Zakat #
Rabu, 31 Juli 2013
Pukul 09.00-Selesai
Gedung Diklat Lantai 4
RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta
Bersama: Ust Aris Munandar
Informasi: dr Arief Siregar 0813 6167 7420
Penyelenggara
Panitia Ramadhan RSUP Dr Sardjito
Rabu, 31 Juli 2013
Pukul 09.00-Selesai
Gedung Diklat Lantai 4
RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta
Bersama: Ust Aris Munandar
Informasi: dr Arief Siregar 0813 6167 7420
Penyelenggara
Panitia Ramadhan RSUP Dr Sardjito
Info I'tikaf Jogja
# Info I'tikaf Jogja #
I'tikaf 10 Hari Ramadhan
Di Masjid Pogung Raya
Fasilitas
- Alas tidur
- Buka puasa dan sahur
- Snack
- Laundry
- Obat2an
- Kamar Mandi
- Tempat Parkir Kendaraan
Disemarakkan juga dengan:
Kajian Tafsir "Taisir Karimirrahman"
Setiap Hari Ba'da Dzuhur
Bersama: Ust Abu Mushlih Ari Wahyudi
Qiyamullail (pukul 02.00)
Setiap hari di 10 hari terakhir
Pendaftaran
Saudara Fajar (Takmir Masjid Pogung Raya)
atau sms ke: 085725291430
biaya: Rp 80.000,-
Penyelenggara
Takmir Masjid Pogung Raya
Friday, July 26, 2013
Stabilo Boss Highlighter
Stabilo Boss Highlighter
Harga @ 6.300,-
Panjang tulisan 30% lebih lama.
Berbagai macam paket 6 berisi: kuning, hijau, pink, oranye, biru dan merah.
Thursday, July 25, 2013
Pilot Refill polymer Leads PPL-5
Pilot Refill polymer Leads PPL-5
2B
0.5mm
60mm length
Economical type “NEO-X”
12leads per tube
Harga Rp 3.000,-
KENKO (Refill Mechanical Pencil Leads)
KENKO (Refill Mechanical Pencil Leads)
Pensil isi ulang merk KENKO dengan ukuran 2B-0.5 lebih murah dan praktis
Harga @Rp 1.000,-
Wednesday, July 24, 2013
Dialog Shalat Tarawih
Ikhwan A : “Antum shalat tarawihnya dimana?”
Ikhwan B : “Ana shalatnya di masjid dekat rumah ana.”
Ikhwan A : “Itu kan jumlahnya 23 rakaat?!”
Ikhwan B : “Iya 23 rakaat, emang kenapa?”
Ikhwan A : “Shalat Tarawihnya gak nyunnah!…gak ada dalilnya… Antum koq mau saja shalat tarawihnya disitu?”
Ikhwan B : “Kalau antum shalatnya dimana? Memangnya di daerah kita ada masjid yang shalatnya 11 rakaat?”
Ikhwan A : “Ana shalat tarawihnya di rumah, biar bisa shalat 11 rakaat.”
Ikhwan B : “Justru shalat tarawih yang sendirian itu (di rumah) yang
tidak nyunnah. Bukankah shalat tarawih itu sunnahnya dikerjakan secara
berjamaah di masjid?? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis
baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu
Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)”
Ikhwan A : “soalnya di daerah kita tidak ada masjid yang shalatnya 11
rakaat. Lagipula dulu Rasulullah shalat tarawih berjamaahnya hanya
diawal bulan dan di akhir bulan saja, seterusnya beliau shalat di rumah
sendirian.”
Ikhwan B : “Rasulullah shalat di rumah sendirian karena ada alasannya
seperti yang disebutkan dalam hadits, yaitu khawatir shalat tarawih
akan diwajibkan untuk umatnya. Seperti sabda beliau shalallahu alaihi
wasallam: ‘…Namun aku khawatir kalau shalat itu akhirnya menjadi wajib
atas diri kalian sehingga kalian tak sanggup melakukannya.’ (HR: Bukhari
dan Muslim). Lagipula shalat tarawih berjamaah mulai rutin dilakukan
atas ijtihadnya Umar bin al Khaththab, bukankan Umar adalah Khulafaur
Rasyidin, dan ijtihadnya Khulafaur Rasyidin juga termasuk Sunnah??
Seperti disabda beliau, ‘…Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada
sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk
sesudahku. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607; At-Tirmidzi no. 2676;
Ahmad 4/126-127;)”
Ikhwan A : “Iya…ana tahu kalau shalat tarawih berjamaah itu adalah
sunnah, tapi yang jadi permasalahan sekarang ini adalah jumlah
bilangannya. Daripada ana shalat 23 rakaat yang tidak ada sunnahnya,
lebih baik ana shalat sendirian dengan 11 rakaat biar sesuai sunnah.
Seandainya ada masjid di daerah kita yang 11 rakaat, ana pasti akan
shalat berjamaah disitu, tapi buktinya belum ada masjid yang shalatnya
11 rakaat. Bagaimana donk??”
Ikhwan B : “Memang benar bahwa shalat tarawih 11 rakaat itu sunnah, tapi shalat dengan jumlah 23 rakaat itu juga dibolehkan.”
Ikhwan A : “Kalau shalat 23 rakaat itu dibolehkan, mana dalilnya?”
Ikhwan B : “Dalilnya, Umar pernah shalat tarawih 23 rakaat. Riwayat
ini dishahihkan oleh Imam AlNawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi,
Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.”
Ikhwan A : “Ana mintanya dalil dari Rasulullah. Apakah Rasulullah pernah shalat tarawih 23 rakaat.”
Ikhwan B : “Hmm…memang Rasulullah tidak pernah shalat tarawih dengan
23 rakaat, karena hadits2 tentang tarawihnya Nabi sebanyak 23 rakaat
tidak ada yang shahih.”
Ikhwan A : “Nah kalau Nabi tidak pernah shalat tarawih 23 rakaat, lantas kenapa antum membolehkan shalat tarawih 23 rakaat?”
Ikhwan B : “Karena hukum asalnya shalat tarawih itu tidak dibatasi
bilangannya. Seperti hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.
Jika engkau khawatir akan datangnya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar
jumlah rakaatnya ganjil’. (Muttafaqun ‘ilaihi). Hadits ini mutlak
menjelaskan bahwa bilangan shalat malam itu tidak dibatasi, berapa saja
dibolehkan, selama belum masuk waktu fajar. Makanya Umar dan para Salaf
melakukan shalat tarawih dengan bilangan yang bermacam-macam.”
Ikhwan A : “Mana yang lebih baik, yang dilakukan Nabi atau yang dilakukan oleh Umar atau orang lain?”
Ikhwan B : “Jelas yang lebih baik adalah yang dilakukan Nabi shalallahu alaihi wasallam.”
Ikhwan A : “Kalau yang dilakukan Nabi adalah lebih baik, ya
sudah…cukup shalat tarawih dengan 11 rakaat, tidak perlu
ditambah-tambah. Padahal dalam hadits ‘Aisyah sudah jelas disebutkan, ia
ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul
pada bulan Ramadhan, ia menjawab: ”Sesungguhnya beliau tidak pernah
menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari
sebelas raka’at. (HR Bukhari, Muslim).”
Ikhwan B : “Baiklah…ana mau tanya…antum shalat tarawih di rumah berapa lama? dan kira-kira selesai jam berapa shalatnya?”
Ikhwan A : “Ana shalat tarawih 11 rakaat lamanya sekitar 1 jam.
Paling-paling selesai shalatnya sekitar jam 20.30 atau jam 21.00 malam.”
Ikhwan B : “Kalau dilihat dari dalil, shalat yang antum lakukan juga
tidak sesuai dengan yang Nabi lakukan, karena Nabi shalallahu alaihi
wasallam tidak pernah shalat malam (tarawih) secepat itu. Nabi shalat
tarawih 11 rakaat dengan membaca bacaan yang panjang, sehingga selesai
shalatnya hampir menjelang waktu sahur. Dalilnya antara lain:
Hadits Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail
(tarawih) bersama Rasulullah pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai
sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25
Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi
pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati
sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. (hadits ini) shahih).
Hadits Abu Dzar,ia berkata: “…Maka beliau memimpin kami shalat pada
malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami
sampai kami khawatir tidak mendapat falah. Saya (perawi) bertanya, apa
itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.”(HR Nasai, Tirmidzi, Ibn
Majah, AbuDaud, Ahmad. (hadits ini) shahih).”
Ikhwan A : “Tapi bukankah dibolehkan juga shalat malam dengan bacaan yang pendek atau singkat?!”
Ikhwan B : “Iya… Walaupun Nabi shalat tarawihnya dengan bacaan yang
panjang dan selesainya hampir menjelang sahur, namun dibolehkan juga
shalat tarawih dengan bacaan yang pendek. Begitu juga dengan shalat
tarawih 23 rakaat. Walaupun Nabi shalatnya 11 rakaat, namun dibolehkan
juga shalat tarawih dengan 23 rakaat atau lebih dari itu, karena hukum
asalnya tidak dibatasi bilangannya. Apalagi hadits tentang shalat
tarawihnya Nabi yang 11 rakaat bukan merupakan perintah dari Nabi,
melainkan hanya perbuatan Nabi saja yang tidak menunjukkan makna wajib.
Imam Syafi’i berkata mengenai jumlah bilangan shalat tarawih, setelah
meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at
berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan
bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak
sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama
lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253).
Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya
adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan
mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan
raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka
meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.”
(Fiqhus Sunnah, 1/174)
Ibn Taimiyah berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana
yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at
sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13
raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya
tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.”(Majmu’ Al Fatawa, 23/113)
Ikhwan A : “Hmm…..”
Ikhwan B : “Bukankah seseorang yang bermanhaj Salaf seperti kita
-insya Allah- hendaknya memahami dalil sesuai dengan pemahaman Salafush
Shalih? Jika makna hadits ‘Aisyah yang antum sebutkan tadi maknanya
seperti yang antum pahami (tidak boleh shalat tarawih lebih dari 11 atau
13 rakaat), niscaya para Salafush Shalih tidak akan ada yang berani
menambahkan bilangan shalat tarawih lebih dari 11 atau 13 rakaat. Namun
kenyataannya mereka semua (Salafush Shalih) banyak yang menambahkan
bilangan shalat tarawih, ada yang 23 rakaat, 29 rakaat, 39 rakaat, 41
rakaat, 49 rakaat, dll. Berarti yang salah dalam memahami hadits ‘Aisyah
tersebut mereka (Salafush Shalih) atau antum atau ustadz antum?”
Ikhwan A : “Hmmm….baiklah…antum benar insya Allah…Tapi jika ana
shalat tarawih di masjid yang 23 rakaat, bolehkah ketika Imam sudah
masuk rakaat ke 8 atau ke 10 maka ana pulang ke rumah untuk
meneruskannya di rumah, agar ana tetap bisa shalat tarawih 11 rakaat??”
Ikhwan B : “Ini menyangkut perkara boleh atau tidaknya. Ana katakan
hal itu adalah boleh saja…bahkan seandainya antum tidak shalat tarawih
sama sekali, maka itu juga boleh karena hukum shalat tarawih hanyalah
sunnah (tidak wajib), namun antum tidak mendapatkan keutamaan (sunnah)
dari shalat tarawih. Begitu juga jika antum pulang ke rumah jika Imam
sudah masuk bilangan ke 8 atau ke 10 rakaat, maka hal itu boleh, tapi….”
Ikhwan A : “Tapi apa?”
Ikhwan B : “…Tapi antum tidak mendapatkan keutamaan seperti yang
disebutkan dalam hadits yang ana sebutkan sebelumnya, yaitu: Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang shalat tarawih
mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam
suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no.
20450). Berhubung antum pulang ke rumah sebelum shalat selesai dan tidak
mengikuti Imam sampai selesai shalat, maka antum tidak mendapat
keutamaan hadits tersebut (yaitu ditulis baginya pahala shalat semalam
suntuk). Wallahu a’lam.”
=== SELESAI ===
(Ket: Dialog ini hanya rekaan)
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid
Sumber: https://www.facebook.com/negara.tauhid/posts/2335550365527?notif_t=feed_comment_reply
Subscribe to:
Posts (Atom)