Monday, September 9, 2013
Pesta Duka Hari Asyura Dan Penyimpangan Syari’at yang Terjadi Didalamnya
Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Tiada yang berhak diibadati kecuali Dia semata. Yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab demi kebahagian manusia di dunia
dan di akhirat kelak. Dia-lah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, oleh
sebab itu Allah mengharamkan kita menyiksa diri dan menyakitinya. Shalawat beserta
salam kita ucapkan untuk Nabi kita Muhammad shallallahu ’alahi wa sallam, Nabi
pembawa rahmat untuk seluruh alam. Nabi yang amat mencintai umatnya, maka
terasa berat bagi beliau bila ada suatu urusan yang menyulitkan umat ini.
Semoga selawat juga terlimpah buat keluarga serta para sahabat beliau dan
orang-orang yang berjalan diatas jalan mereka sampai hari kemudian.
Para pembaca yang kami muliakan,
pada kesempatan kali ini kami mengajak para pembaca untuk menyimak berbagai
keyakinan sesat Syi’ah Rafidhah tentang pesta duka di bumi karbala yang mereka
peringati setiap tanggal sepuluh Muharram (hari ‘Asyuraa). Mereka melakukan
berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, sepeti rantai besi,
pedang, cambuk, dan lain lain. Hal itu mereka yakini sebagai bukti cinta mereka
kepada Ahlu Bait (Keluarga Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam). Yang diaplikasikan dalam bentuk kesedihan dan
kekecewaan mereka atas terbunuhnya cucu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam Al Husein
radhiallahu ‘anhu di tempat tersebut.
Pada tanggal sepuluh Muharram
(hari Asyuraa) orang-orang Syi’ah Rafidhah meyakini sebagai hari sial dan
membawa celaka. Maka oleh sebab itu mereka mulai dari awal bulan Muharram
bahkan selama sebulan mereka tidak melakukan hal-hal penting dalamnya, seperti
tidak berpergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai
pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak, dll. Anak yang lahir di
bulan Muharram adalah anak yang bernasib sial menurut keyakinan mereka
orang-orang Syi’ah Rafidhah.
Secara khusus di hari Asyuraa
mereka melakukan ritual yang amat mengerikan dengan menyiksa diri dengan
benda-benda keras dan tajam. Hal tersebut dirangsang dengan mendengarkan
syair-syair kisah terbunuhnya Husain bin Ali shallallahu ‘alahi wa sallam di
padang Karbala yang dikarang sendiri oleh tokoh-tokoh Syi’ah Rafidhah. Kisah
tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para
sahabat. Sehingga hal tersebut memancing untuk timbulnya emosional kesedihan
serta melakukan penyiksaan diri.
Jika para pembaca kurang yakin
silakan saksikan pada hari Asyuraa apa yang sedang berlangsung di padang
karbala. Mereka berdatangan kesana dari berbagai negri dan negara. Di sana
mereka hadir dengan pakain serba putih, sambil bergoyang secara pelan-pelan dan
mengucapkan kalimat: “haidar, haidar”, sebilah pedang diayun-ayunkan kesalah
satu bagian tubuh secara perlahan, kemudian tubuh mereka bersimbah darah.
Perayaan duka di Karbala lebih dikenal dikalangan Syi’ah Rafidhah dengan
sebutan ritual al husainiyah.
Penyiksaan diri pada tanggal
sepuluh Muharram tersebut tidak hanya terbatas dilakukan di bumi Karbala,
tetapi juga dilakukan oleh komunitas Rafidhah di berbagai negri dan negara
lainnya. Karena menurut mereka kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharram
tersebut memilki nilai ibadah yang cukup tinggi sebagaimana diungkapkan oleh
imam-imam mereka.
Menurut Syi’ah Rafidhah padang Karbala jauh lebih mulia dari pada kota
Suci Makkah.
Menurut riwayat-riwayat dalam
kitab-kitab [mereka, Karbala] adalah lebih suci dari kota suci Makkah.
Disebutkan dalam sebuah riwayat
Syi’ah Rafidhah, “Allah akan menjadikan Karbala sebagai pusat dan tempat
berkumpul para malaikat dan orang-orang mukmin (Rafidhah -ed). Ia akan memiliki
kemulian, akan tersebar padanya berbagai keberkahan. Seandainya seseorang
berdoa disana kepada Rabb-nya, nicaya Allah akan memberikan dengan satu doa
saja seribu kali lipat kerajaan dunia. Berbagai tempat di bumi saling
berbangga, Ka’bah yang di tanah haram berbangga diatas Karbala. Maka Allah
wahyukan kepadanya: Wahai Ka’bah tanah haram diamlah engkau! Jangan engkau
berbangga diatas Karbala! Sesungguhnya dia bumi yang penuh berkah.”
Demikian sebuah riwat palsu yang
disebutkan dalam kitab Syi’ah Bihaarul Anwaar, jilid: 53, hal: 12, riwayat no:
1, bab: 28.
Dalam riwayat Syi’ah Rafidhah
yang lain disebutkan, “Allah telah menciptakan padang Karbala sebelum
menciptakan bumi Ka’bah (kota suci Makkah) selama dua puluh empat ribu tahun.
Ia (Karbala) telah suci dan berkah sebelum penciptan para makhluk. Ia
senantiasa demikian sampai Allah jadikan ia sebagai tempat yang paling afdhal
(mulia) di dalam surga.”
Riwayat dusta ini berulang kali
terdapat dalam berbagai kitab-kitab pegangan orang-orang Syi’ah Rafidhah. Lihat
Bihaarul Anwaar, jilid: 57, hal: 202, riwayat: 147, bab: 1. dan Attahziib,
jilid: 6, hal: 72, riwayat: 6. erta Al Wasaail, jilid: jilid: 14, bab: 68, hal:
513-516, riwayat: 19719-19723.
Bukti kebohongan dan kebatilan
riwayat-riwayat di atas amat jelas bagi setiap muslim yang awam sekalipun.
Sebab mereka amat yakin dengan
firman Allah yang berbunyi,
{إِنَّ
أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ
لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِين} [آل
عمران/96]
“Sesungguhnya rumah (suci) yang
pertama sekali diletakan dimuka bumi untuk manusia adalah yang terdapart di
kota Makkah, yang diberkati dan sebagai petunjuk bagi manusia.”
Dalam ayat ini Allah jelaskan
bahwa Ka’bah adalah rumah ibadah yang pertama kali dibangun di muka bumi. Dan
ia adalah tempat yang penuh berkah. Beribadah di masjidil haram memiliki
keutamaan yang jauh lebih besar dari seluruh masjid mana pun di muka bumi.
Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam yang berbunyi,
عن
أبي هريرة قال: قال
رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ((صلاة في
مسجدي هذا أفضل من
ألف صلاة فيما سواه
إلا المسجد الحرام)) رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu ia berkata, “Telah bersabda rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:
shalat di masjidku ini lebih baik dari selainya seribu kali lipat kecuali
Majidil Haram [1].” [1] HR. Bukhary: 1/398 (1133) dan Muslim: 2/1013 (1395).
Dalam hadits lain Rasulullah
tegaskan bahwa dilarang melakukan perjalanan dalam mencari tempat yang lebih
afdhal untuk beribadah kecuali pada tiga masjid. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أنّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَال:َ(( لَا
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ
مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى)) رواه البخاري.
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak boleh melakukan
perjalanan (untuk beribadah di suatu tempat) kecuali kepada tiga masjid;
masjidil haram, manjid Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan masjidil
aqsha[2].” [2] HR. Bukhari: 1/398 (1132) dan Muslim: 2/1014 (1397)
Semua muslim yakin dan percaya
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam adalah manusia yang paling mulia
dihadapan Allah. Namun tidak ada satu nash pun yang menyebutkan bahwa beribadah
di kuburan beliau lebih utama dari pada Masjidil Haram atau masjid beliau di
Madinah atau Masjidil Aqsha di Palestina. Bahkan yang ada justru sebaliknya,
beliau melarang menjadikan kuburan beliau sebagai tempat perayaan atau sebagai
tempat yang dikunjungi dalam waktu-waktu tertentu.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : ((وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي
عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ
تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُم)) رواه
أحمد وأبو داود.
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu ia berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Dan
janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat ‘id (di kunjungi pada
waktu-waktu khusus), dan berselawatlah kepadaku. Sesungguhnya selawat kalian
akan sampai kepadaku dimanapun saja kalian berada[3].” [3] HR. Ahmad: 2/367
(8790) dan Abu Daud: 2/218 (2042).
Bahkan Rasulullah melaknat orang
yang menjadikan kuburan para nabi atau orang-orang shalih sebagai tempat
beribadah,
عن
عائشة وابن عباس رضي
الله عنهما أن النبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قال: ((لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ
وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا)).
Dari Aisyah dan Ibnu Abbas
keduanya mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Laknat
Allah-lah diatas orang-orang Yahudi dan nasrany yang menjadikan kuburan
nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah. Ia mengingatkan terhadap apa yang
mereka lakukan[4].” [4] HR. Bukhary: 1/168 (425) dan Muslim: 1/377 (531).
Ungkapan para tokoh Syi’ah Rafidhah tentang hukum dan keutamaan pesta
duka di hari Asyuraa.
Berikut cuplikan ungkapan para
tokoh Syi’ah Rafidhah tentang hukum dan keutamaan pesta duka di hari Asyuraa.
Salah seorang dari tokoh Syi’ah
Rafidhah telah menulis buku khusus tentang ritual pada hari ‘Asuraa di Karbala
judulnya”Al majalis Al fakhirah fi Ma’aatim Al ‘itrah At Thahirah”[5] atau
lebih pasnya kitab tersebut di beri judul Manaasik Al Husainiyah. [5] Lihta
kitab Man Qatalal Husein, hal: 60.
Disebutkan oleh salah seorang
tokoh mereka bahwa ritual penyiksaan diri pada hari Asyura di Karbala awal pertamanya
pada abad ke IV Hijriah dimasa dinasti Al-Buwaihy. Kemudian berlanjut pada masa
dinasti Al-Fathimiyah sampai sekarang kegiatan tersebut tersebar di negara yang
mayoritas terdapat orang-orang Syi’ah Rafidhah. Seperti Iraq, Iran, India,
Siria, dan lain lain[6]. [6] Lihat kitab Man Qatalal Husein, hal: 56.
Salah seorang tokoh mereka yang bernama Dr. Abdul
Ali menukil dari salah seorang Syeikh mereka bernama Hasan Ad-Dimastaany
ungkapan, “Meratap berteriak atas kematian Husain adalah wajib, wajib ‘ainy
(wajib atas setiap pribadi) [7].” [7] Lihta kitab Man Qatalal Husein, hal: 65.
Berkata Ayatullah Al-‘Uzma Syeikh
Muhammad Husein An-Naaiity, “Tidak ada masalah tentang hukum kebolehan memukul
pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih kuat lagi,
boleh memukul pundak dan punggung dengan rantai sampai batas yang disebutkan.
Bahkan lebih kuat jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula
mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan pedang [8].” [8] Lihta
kitab Man Qatalal Husein, hal: 66.
Setelah kita menyimak berbagai
ungkapan tokoh-tokoh Syi’ah Rafidhah di atas dapat kita ketahui bahwa apa yang
dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat
tentang mereka. Bahkan ada CD tentang pesta duka di Karbala yang dapat anda
buktikan sendiri segala apa yang kita kutip diatas.
Bila ungkapan-ungkapan tersebut
kita sorot dengan cahaya Al-Quran dan Sunnah serta keyakinan para ulama salaf.
Niscaya kita akan mendapati jurang pemisah yang sangat jauh antara keyakinan
orang-orang Syiah Rafidhah dengan keyakinan kaum muslimin yang berpegang teguh
kepada Alquran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.
Bukankah Hamzah paman nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam adalah sorang syahid yang mati terbunuh di medan
perang. Namun Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah menjadikan hari
kematiannya sebagai hari berduka dan berkabung. Sebagaimana yang di lakukan
orang-orang Syi’ah Rafidhah pada hari kematian Al-Husein radhiallahu ‘anhu.
Bahkan hari kematian para nabi
terutama nabi yang paling mulia Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam tidak
pernah di perintahkan Allah untuk di jadikan hari berkabung dan berduka,
apalagi kematian orang-orang yang jauh kedudukannya dibawah para nabi.
Pesta Duka Hari Asyura Menjiplak Ajaran Agama Kufur
Komentar para ulama tentang
kesesatan pesta duka di hari ‘Asuraa.
Diterangkan oleh Syeikh Islam
Ibnu Taimiyah, ”Bahwa dengan sebab terbunuhnya Husain, setan telah menciptakan
dua bid’ah bagi manusia; bid’ah dalam bentuk kesedihan dan meratap pada hari
‘Asyuraa. Dengan memukuli wajah, teriakan, menangis, tidak minum, dan membaca
syair-syair duka. Juga melakukan hal yang membawa kepada tindakan mencaci-maki
dan melaknat para sahabat. Serta membaca cerita bagaimana kejadian terbunuhnya
Husain yang telah dicampuri oleh berbagai kedustaan. Tujuannya adalah membuka
pintu fitnah dan perpecahan antara sesama umat Islam. Sesungguhnya hal tersebut
tidak wajib dan tidak pula disunnahkan menurut kesepakatan kaum muslimin.
Bahkan melakukan tindakan yang menyedihkan dan meratapi bagi musibah yang telah
berlalu adalah termasuk diantara hal yang diharamkan Allah dan rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam. Demikian pula bid’ah hukumnya dengan sengaja
bergembira dan berbahagia pada hari Asyuraa, sebagaimana perbuatan orang-orang
Nawashib[9]. [9] Lihat Minhaajussunnah, 4/554.
Fatwa-fatwa yang membolehkan
menyiksa diri pada hari Asyuraa telah mendapat pengakuan lebih dari sepuluh
ulama terkemuka mereka[10]. [10] Lihta kitab Man Qatalal Husein, hal: 68-69.
Berkata Ibnu katsir, “Setiap
muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu, sesunguhnya
dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah
seorang ulama dikalangan para sahabat, dan anak dari anak perempuan kesayangan
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. ia adalah seorang ahli ibadah, seorang
pemberani dan pemurah. Tetapi apa yang dilakukan Syi’ah tidak pantas, dari
bersedih dan keluh kesah, boleh jadi mereka lakukan karena pura-pura dan riya’.
Sesungguhnya ayahnya (Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu) jauh lebih afdhal
darinya, ia juga terbunuh. Akan tetapi mereka tidak menjadikan hari kematiannya
sebagai hari berduka sebagaimana hari kematian Husain radhiallahu ‘anhu!
Sedangkan bapaknya terbunuh pada hari Jum’at saat keluar rumah mau melaksanakan
shalat subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H.
Demikian juga ‘Utsman radhiallahu
‘anhu ia adalah lebih mulia dari Ali dalam pandangan Ahlussunnah waljam’aah. Ia
dibunuh saat dikepung di rumahnya, pada hari Tasyriiq di bulan Zulhijjah, tahun
36 H., ia disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah manusia
menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.
Demikian pula halnya Umar bin
Khatab radhiallahu ‘anhu dan ia lebih afdhal dari Ustman dan Ali, ia dibunuh di
mihrab saat shalat fajar (Subuh), saat sedang membaca Alquran. Tidah ada
manusia yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.
Dan demikian juga Abu Bakar
Ash-Shidiq, ia adalah lebih afdhal dari Umar, tidak ada manusia yang menjadikan
hari kematiannya sebagai hari berkabung.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, Allah telah memangilnya,
sebagaimana meninggalnya para nabi sebelumnya. Tidak ada seorangpun menjadikan
hari kematian mereka sebagai hari berlasungkawa, atau melakukan apa yang dilakukan
orang-orang bodoh dari sekte Rafidhah pada hari kematian Husain. Tidak
seorangpun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian
mereka, seperti apa yang disebutkan Rafidhah pada hari ke”matian Husain.
Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit, dan
sebagainya[11].” [11] Lihat Bidayah wannihayah, 8/208.
Berkata salah seorang ulama
Dinasti Utsmaniyah Faadhil Ar-Ruumy, “Adapun menjadikan tanggal sepupuluh
Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali radhiallahu
‘anhu pada hari tersebut seperti yang dilakukan orang-orang Rafidhah. Maka itu
adalah perbuatan orang-orang sesat perjalanannya waktu di dunia tetapi mereka
mengira melakukan sesuatu yang amat baik. Allah dan Rasul shallallahu ‘alahi wa
sallam tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi dan
hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi hari kematian orang-orang
yang di bawah mereka kedudukannya.
Tukang cerita yang mengingatkan
manusia tentang kisah pembunuhan di hari Asyuraa, sambil merobek baju dan
membuka tutup kepalanya. Menyuruh orang-orang untuk berdiri dan menyalakan rasa
sedih dalam hati terhadap musibah tersebut. Maka diwajibkan atas penguasa untuk
melarang mereka. Orang yang ikut-ikutan mendengarkannya tidak boleh diberi uzur
untuk mendengarkan[12].” [12] Lihat Majaalis Al Abraar, Majlis no 37.
Pada kesempatan lain beliau
nyatakan,”Diantara bentuk-bentuk bid’ah yang dilakukan sebahagian manusia pada
hari Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka
meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu
mereka mencaci para sahabat Rasululullah yang telah meninggal dan berdusta atas
nama keluarga nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Serta berbagai kemungkaran
lainnya yang dilarang dalam Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam setra kesepakatan kaum muslimin.
Sesungguhnya Husain radhiallahu
‘anhu telah dimuliakan Allah dengan menjdikannya sebagai orang yang mati syahid
pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni surga.
Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar,
akan tetapi Allah mensyari’atkan bagi kaum muslimin ketika mendapat musibah
mengucapkan istirjaa’ (Inna lillahi wainna ilaihi rooji’uun) [13]. [13] Lihat
Majaalis Al Abraar Majlis, no 37.
Sebagaimana firman Allah,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ
وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155} الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ
قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ
إِلَيْهِ رَاجِعُونَ {156} أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ
وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ {157}
“…Dan beri kabar gembiralah
orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang ketika ditimpa musibah mengucapkan
Inna lillah wainna ilaihi rooji’uun. Mereka mendapat shalat (pujian) dan rahmat
dari tuhan mereka, itulah mereka orang-orang yang diberi petunjuk[14].” [14]
QS. Al-Baqaah, ayat: 155-157.
وروي
عن سعيد بن جبيررضي
الله عنه أنه قال:
(لم يُعط الاسترجاع لأمة
من الأمم إلاّ هذه
الأمة، ولو أعطيلأحدٍ لأعطي
يعقوب النبيّ عليه السلم
ألا ترى أنه قال
فيمقام الاسترجاع: يا أسفى على
يوسف).
Berkata Sa’iid bin Jubair
radhiallahu ‘anhu, “Tidak diberikan ucapan istirjaa’ bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini
(umat nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam). Jika sesorang diberi tentu
akan diberikan kepada nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Tidakkah anda perhatikan ia
mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjaa’ : “wahai betapa sedihnya kehilangan
Yusuf [15].” [15] Diriwayatkan Imam Ath-Thabary dalam tafsirnya, 13/39.
وفي
صحيح مسلم أنه صلى
الله عليه وسلم قال:ما من مسلمٍ
يصاب بمصيبة فيقول: إنا
لله وإنا إليه راجعون
.اللهمّ أجرني في مصيبتي
واخلف لي خيراً منها
إلاّ آجره الله تعالى
في مصيبته وأخلف خيراً
منها
Disebutkan dalam kitab shahih
Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak seorang
muslimpun yang ditimpa musibah, maka ia ucapkan: Inna lillah wainna ilaihi
rooji’uun, ya Allah beripahala-lah terhadapku atas musibah yang menimpaku,
gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya. Melainkan Allah
memberinya pahala terhadapnya atas musibahnya dan mengganti dengan sesuatu yang
lebih baik dari musibahnya[16].” [16] Lihat shahih Muslim,2/632 no (918).
Adapun melakukan sesuatu yang dilarang
Nabi pada saat bertepatan waktu musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup
lama, Maka dosanya akan lebih besar lagi. Seperti memukul-mukul muka,
merobek-robek baju, dan berteriak-teriak sebagaimana kebiasaan orang-orang
jahiliah. Apalagi ditambah dengan melaknat dan mencaci orang-orang mukmin (para
sahabat). Serta membantu orang-orang zindiq dalam merealisasikan tujuan mereka
dalam merusak agama.
Maka diwajibkan kepada setiap
muslim untuk menjauhi tempat-tempat perbuatan haram dan maksiat tersebut. Serta
melarang orang-orang yang melakukannya sesuai kemampuannya[17]. [17] Lihat
Majaalis Al Abraar Majlis, no 37.
Mungkin ada yang akan
mengomentari itukan pendapat sebagian dari orang-orang Rafidhah. Karena jika
kita bertanya kepada sebagian yang lain mereka tidak setuju akan hal itu. Perlu
diketahui bahwa diantara aqidah mereka adalah taqiyah (berdusta) di hadapan
orang-orang tidak seaqidah dengan mereka.
Dalam pesta duka di padang
karbala atau pada hari Asyuraa ada beberapa catatan penting:
Hukum menyiksa diri atas
peristiwa musibah yang menimpa seseorang.
فَفِي
الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
– قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
” {لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ
الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا
بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu
‘anhu ia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju
dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah .” (HR. Bukhari dan Muslim).
وَفِي
الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي مُوسَى
الْأَشْعَرِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
– قَالَ : أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا
بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْ الْحَالِقَةِ
؛ وَالصَّالِقَةِ ؛
وَالشَّاقَّةِ
Dari Abu Musa Al-Asy’ary
radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Aku berlepas diri apa-apa yang Rasulullah
berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang
mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek
baju (saat ditimpa musibah).” (HR. Bukhari dan Muslim).
وَفِي
صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي مَالِك
الْأَشْعَرِيِّ : { أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ
أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ : الْفَخْرُ
بِالْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالِاسْتِسْقَاءُ
بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ
: النَّائِحَةُ إذَا لَمْ تَتُبْ
قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ
مِنْ جَرَبٍ
Dari Abu Musa Al-Asy’ary
radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Ada
empat perkara diantara perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga
dengan kesukuan, mencela ketuturunan (orang lain), meminta hujan dengan
bintang-bintang dan meratapi mayat. Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi
mayat apabila tidak bertaubat sebelium meninggal. Ia akan dibangkit pada hari
kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta.”
“Adapun hal terbunuhnya Husain
radhiallahu ‘anhu tidak diragukan lagi bahwa ia terbunuh dalam kezaliman serta
syahid. Sebagaimana terbunuhnya orang-orang yang dizalimi dalam keadaan syahid.
Terbunuhnya Husain radhiallahu‘anhu adalah kedurhakaan kepada Allah dan
rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dari orang yang membunuhnya, atau ikut
membantu dan ridha dengan dengan hal itu. Dan ia merupakan musibah yang menimpa
kaum muslimin baik dari keluagnya maupun bukan dari keluarganya. Dan itu
baginya bernilai syahid dan ketinggian bagi kedudukannya. Karena dia dan
saudaranya Hasan, bagi keduanya telah dijanjikan Allah termasuk orang-orang
yang berbahagia yang hanya dicapai dengan salah satu bentuk cobaan. Karena
keduanya tidak merasakan cobaan yang dialami oleh keluarga mereka sebelumnya.
Karena keduanya dibesarkan dalam Islam, dalam masa kejayaan dan rasa tentram.
Maka yang satu mati dengan diracun dan yang satu lagi mati dengan dibunuh,
supaya keduanya mencapai kedudukan orang-orang yang bahagia, kehidupan para
syuhada.
Kejadian yang menimpa Husain
tidah lebih besar dari apa yang menimpa para nabi. Sesungguhnya Allah telah
menceritakan bahwa Bani Israil telah membunuh para nabi tanpa ada alasan.
Sedangkan membunuh nabi adalah dosa dan musibah yang amat besar. Jika demikian
maka terbunuhnya Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu jauh lebih besar dosa dan
musibahnya. Demikian pula pembunuhan khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu adalah
musibah dan dosa yang jauh besar.
Jika demikian halnya maka yang
harus dilakukan saat di timpa musibah adalah bersabar dan-istirjaa’ sebagaimana
yang dicintai Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.
Adapun melakukan hal-hal yang
dibenci Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam seperti memukul-mukul
muka, merobek-robek baju, dan bertriak-teriak seperti perbuatan orang-orang
jahiliyah. Semua ini adalah haram yang mana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
berlepas diri dari orang yang melakukannya. Sebagaimana yang terdapat pada
hadits-hadits yang telah kita sebutkan di atas.
Hukum mencaci atau mencela para
sahabat, baik pada hari Asyuraa maupun diluar hari Asyuraa.
Banyak sekali ayat maupun
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang menerangkan keutaman
sahabat, sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan
mencari orang-orang beriman secara umum dan melaknat serta mencaci para sahabat
secara khusus.
Secara khusus Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam telah melarang dengan tegas umatnya mencela para
sahabat beliau,
عن
أبي سعيد الخدري رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أن رسول
الله صلى الله عليه
وسلم قال: ((لا تسبّوا
أصحابي فلو أنّ أحدكم
أنفق مثل أحدٍ ذهباً
ما بلغ مدّ أحدهم
ولا نصيفه
Dari Abu Sa’iid Al-Khudri bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda, “Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah
seorang kalian mengimfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai
(nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula
separohnya[18].” [18] HR. Bukhari, 3/1343 (3470) dan Muslim: 4/1967 (2540-2541)
dari hadits Abu Hurairah dan Abdurrahman bin ‘Auf.
Maka berdasarkan hadits ini
diwajibkan atas seorang mukmin memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan
kebaikan serta menahan lisan dari mecela mereka.
Karena dengan sebab terbunuhnya
Utsman dan Husain terjadi fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang
banyak. Akibatnya muncul berbagai bentuk kesesatan dan bid’ah-bid’ah.
Terjerumus kedalamnya sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang.
Sehingga berbagai kedustaan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah semakin hari
semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat
yang tidak mungkin kita urai dalam bahsan singkat ini[19]. [19] Lihat Majaalis
Al Abraar Majlis, no 37.
Berkata Imam Al-Ghazali dan ulama
lainnya, “Diharamkan bagi para pemberi nasihat (dai) meriwayatkan tentang kisah
terbunuhnya Husain. Begitu pula tentang hal yang terjadi antara sesama para
sahabat dari perselisihan dan pertikaian. Karena hal itu dapat memotifasi orang
untuk membeci para sahabat dan mencela mereka. Sedang mereka adalah tauladan
umat, yang para ulama mendapatkan ilmu melalui perantara mereka. Kemudian ilmu
tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka.
Maka orang yang mencela mereka adalah orang yang tercela pada diri dan
agamanya.”
Berkata Ibnu Sholaah dan Imam
Nawawi, “Para sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat meninggal Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam mempunyai sahabat jumlahnya seratus empat belas
ribu (114. 000) orang. Alquran dan sunnah keduanya menyatakan akan keadilan
(ketakwaan) dan kemulian mereka. Dan segala apa yang terjadi di antara mereka
memiliki pertimbangan-pertimbangan yang tidak mungkin kita sebutkan
satu-persatu dalam tulisan singkat ini[20]. [20] Lihat Ash shawa’iq Al
Muhriqah, karangan Al-Haitami, 2/640.
Berkata Imam Asy-Syafi’i dan
lainya dari para ulama salaf, “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang
Allah sucikan tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita
dari membicarakannya.”
Demikian bahasan kita kali ini, semoga
Allah melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebatilan, baik yang
nyata maupun yang tersembunyi.
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri
Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment